Selasa, 21 Juni 2011

Mengapa benci (pelajaran) sejarah?

Saya benci hafalan. Memandang tulisan kecil berdempet dalam berlembar-lembar kertas itu rasanya malas minta ampun. Isinya tahun, nama-nama tokoh, peristiwa, dan tetek bengek lainnya yang rasanya mustahil untuk dihafal semuanya. Sejak masih di bangku SD, saya sudah mengklaim bahwa saya tidak suka pelajaran sejarah. Meskipun sangat terpaksanya harus menghafal, setelah mengerjakan soal toh nanti lupa lagi. Tidak ada yang menarik di situ.

Membaca buku sejarah selain buku dari sekolah? Ah buat apa. Toh baca buku dari sekolah saja sudah susah payah. Jalan-jalan ke museum? Yaaa.. formalitas darmawisata dari sekolah. Kalau tidak ada tugas yang harus dikumpulkan, paling saya hanya liat-liat sepintas saja keterangan-keterangan di tiap pamerannya.

Mengapa saya benci pelajaran sejarah? Tidak, bukan hanya saya. Banyak sekali yang beranggapan bahwa sejarah itu membosankan dan bikin ngantuk. Padahal sejarah itu milik kita semua. Sejarah adalah unsur yang bisa menjadi acuan atau tolak ukur dalam menjalani hidup di masa kini dan masa datang.

Saya tidak mau semata-mata menyalahkan sistem pendidikan kita yang sekarang. Walaupun pada kenyataannya, anak tidak didorong untuk merasa perlu belajar untuk bekal dirinya, tetapi untuk nilai 100 di atas kertas. Belajar sejarah bukan menjadi seperti membaca dongeng yang menyenangkan, tetapi sebuah beban untuk memasukkan sekian ratus kata dalam kepala, yang harus ditumpahkan di atas kertas ulangan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Pemilihan kata demi kata pun cenderung sama persis seperti di buku. Selain sistem, mungkin dari saya sendiri bukan anak yang cukup kritis pada saat itu, yang saya kejar hanya nilai, nilai, dan nilai.

Justru ketika umur saya mulai hampir menginjak kepala dua, banyak hal yang saya sadari bahwa terlalu banyak yang saya lewatkan. Mengapa dulu saya tidak benar-benar mendengarkan guru "bercerita" tentang sejarah di depan kelas? Karena pada saat itu yang saya rasakan bukan cerita, melainkan hafalan rumit yang kadang membuat mata saya terkantuk-kantuk. Sekarang justru mengenai sejarah Indonesia rasanya sangat menyenangkan untuk didengar dan dicari informasi selengkap-lengkapnya. Segala sesuatunya punya filosofi yang berasal dari sejarah.

Mengapa begini? Pelajari sejarahnya
Bagaimana dengan ini? Pelajari sejarahnya
Di mana lokasi itu? Pelajari sejarahnya
Kapan terjadinya peristiwa ini? Pelajari sejarahnya

Dan masih banyak pertanyaan saat ini yang akan terjawab ketika kita tau dan mengerti sejarahnya. Terutama untuk Indonesia, negara yang sarat akan kebudayaannya. Setiap suku, etnis, dan budaya memiliki sejarah dan kisah masing-masing yang melahirkan sebuah kearifan lokal, kekayaan yang tidak ternilai.

Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Yang jelas, menghafal itu tetap menyebalkan (hehe), tetapi belajar sejarah sekarang menjadi menyenangkan :)

Rabu, 01 Juni 2011

Bagaimana dengan "penghuni liar" di Babakan Siliwangi?

Ada sisi sosial yang perlu kita telusuri dari Babakan Siliwangi ini. Selain dari sisi politik dan keruwetannya, sisi para penghuni legal yaitu sanggar olah seni, sekarang mari bicara dengan "penghuni liar" yang digusur oleh Satpol PP. Bagaimana kelanjutan hidupnya?

Ketika sedang melihat sisa-sisa reruntuhan bangunan, saya sempat berkenalan dengan Mas Akli. Dua tahun yang lalu ia beberapa kali main ke daerah ini. Dulu ia kemari karena tertarik dengan pembuat biola di tempat ini. Kemudian dari situ mulai mengenal banyak orang-orang yang bermukim di tempat ini.

Sisa-sisa reruntuhan

Sebelum pulang kami menyempatkan untuk mengobrol dengan Ibu Ipah, salah satu warga yang tinggal secara ilegal di Baksil ini. Sebelumnya Mas Akli banyak bercerita tentang beliau. Ketika Satpol PP datang dan mengamankan tempat ini, semua orang digusur dan diharuskan secepatnya meninggalkan lokasi itu. Nah mungkin akan mudah ketika tempat tinggal sebenarnya orang-orang ini adalah di Bandung. Bagaimana yang berasal dari kota lainnya?

Ibu Ipah berasal dari Garut. Ibu 6 orang anak ini dibawa oleh suaminya 4 tahun yang lalu tanpa tahu apa prospek di Bandung. Dibawa ke lokasi ini, Ibu Ipah tidak tahu menahu. Ini tanah siapa dan bagaimana status mereka di sini? Suaminya adalah pemulung. Sekarang kondisinya sudah tidak dapat diharapkan lagi. Ia telah hilang ingatan dan menghilang hingga saat ini. Tahu akan seperti ini akhirnya, Ibu Ipah menyesal telah mengiyakan ajakan suaminya untuk mengadu nasib di Bandung.

Ibu Ipah dikaruniai 6 orang anak. Ada yang menetap di Garut, ada yang ngamen di Simpang, ada yang bekerja di arung jeram Sungai Cikapundung, dan yang paling kecil harus menderita tuna netra dan tinggal bersama Ibu Ipah. Ketika saya berkunjung ke sana, anaknya ini sedang tidur. Ketika pada akhirnya mereka harus diusir dari tempat itu, mereka jelas bingung. Untuk makan saja susah, uang dari mana kalau mereka harus kembali ke Garut? Maka Mas Akli memberikan bantuan berupa jalur permintaan dana ke Dinas Sosial.

Astagaa... saya miris sekali mendengar bagian ini. Hanya memperjuangkan uang 30 ribu per kepala saja susahnya minta ampun! Pertama minta surat ke polisi, tidak dapat. Dari kelurahan oke dapat surat, tapi tersendat lagi di kecamatan, diminta surat dari polisi. Selain itu juga dikatakan tidak bisa di pihak Dinas Sosial. Kembali ke kepolisian, lagi-lagi gagal sampai harus beradu argumen. Akhirnya langsung saja ke Dinas Sosial dan akhirnya turun juga dananya. Tepat di hari kami berkunjung ke sana, sore harinya Ibu Ipah dan anak-anaknya dapat kembali ke Garut.

Saya sempat bertemu dengan si pembuat biola, Kang Budi. Beliau seperti "ayah" dari pengamen-pengamen perempatan Simpang. Ia memiliki rumah sebenarnya, tetapi ia memilih lebih sering menghabiskan waktu di Baksil, memeberi keterampilan seni musik ke pengamen-pengamen ini. Kami disambut baik olehnya. Beliau banyak bercerita tentang Babakan Siliwangi, sebagai penghuni lama di tempat ini. Meskipun mungkin keadaan keuangannya terbilang sulit, tetapi ia memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sampai Ibu Ipah bisa kembali ke Garut, ia masik ikut menemani. Meskipun ia juga mencemaskan keadaan Ibu Ipah di Garut karena harus memulai dari 0 lagi di sana. Rumah Ibu Ipah di sana pasti sudah tak ada lagi. Menurutnya justru Ibu Ipah akan lebih aman berada di wilayah Baksil ini.

Mereka semua tinggal di sisa-sisa reruntuhan bangunan. Yang saya rasakan ketika masuk ke area itu adalah dingin dan sangat lembab. Padahal cuaca di luar sangat cerah, cenderung panas terik. Bayangkan bagaimana kesehatan paru-paru mereka?

Mereka tidur di dalam sini nih

Hawanya sangat dingin dan lembab

Keadaan ini tidak lalu kemudian membuat mereka memanfaatkan lahan Baksil ini untuk perut mereka. Untuk orang-orang mungkin akan mengambil puing-puing bangunan dan sisa-sisa seperti paku dan lain-lain untuk kemudian dijual. Tetapi tidak untuk mereka. Bahkan mereka tidak mengambil keuntungan sedikit pun di lahan Baksil ini. Mereka cenderung malah banyak merapikan dan membersihkan lahan ini. Sesekali menyapu dan merapikan agar tampak sedikit rapi. Justru mereka malah mencari mata pencaharian di luar. Baksil hanya menjadi tempat mereka berteduh.

Apa yang dilakukan Kang Budi dengan mengajarkan dan mengasuh pengamen-pengamen Simpang justru malah memberi "kehidupan". Percaya tidak percaya, mereka semua berhati baik dan tidak macam-macam lho. Kalau macam-macam pasti bukan begini cara Kang Budi bercerita. Ia benar-benar mau berbagi informasi yang ia miliki, tanpa mengharapkan bantuan apapun dari pendengarnya. Hal ini semakin membuat saya dan teman-teman ingin melakukan sesuatu.

Sisa-sisa bangunan berbahan dasar beton ini belum sempat dipugar. Rencananya sehari setelah saya ke sana itu akan dilakukan tindakan selanjutnya ke bangunan-bangunan ini. Saya hanya berharap pekerja-pekerja seni jalanan ini mendapatkan tempat dan penghidupan yang layak.

Untuk Ibu Ipah dan keluarga, semoga bisa mendapat kehidupan lebih baik di Garut sana ya, Bu :)

Nafas kesenian di Babakan Siliwangi


Bagaimana dari sudut pandang para seniman sanggar sebagai penghuni tetap Babakan Siliwangi?

Kami sempat diajak untuk mengobrol dengan Pak Susantono, seniman yang aktif di Sanggar Olah Seni (SOS) yang bertempat di Babakan Siliwangi ini. Letaknya tak jauh dari lokasi tadi. Sanggar ini fokus pada seni rupa. Keberadaan sanggar ini telah dikenal oleh banyak seniman di ranah nasional. Bangunan sanggar ini bersifat legal. Meskipun mereka tidak memegang surat, tetapi keberadaannya tercata di Pemkot Bandung. Sejak tahun 1982, sanggar ini telah didirikan dengan diprakarsai oleh salah satunya Bapak Barli dan dan Bapak Anang. Pendanaan didapat dengan diawali oleh penjualan tape hingga ke negara Jepang. Lalu pada akhirnya mereka berhasil mendapat izin dari Pemkot Bandung untuk mendirikan sanggar di tanah tersebut. Gedung tempat Pak Lurah berkantor pun mendapat tanah dari hak sanggar.



Mengapa harus di Baksil? Lokasi ini dinilai tempat yang representatif untuk berkarya. Sejak tahun 2002, banyak kepentingan-kepentingan yang masuk ke wilayah Baksil ini, tetapi sanggar memiliki komitmen untuk tetap ada. Sanggar ini adalah satu-satunya sanggar yang termasuk besar di Indonesia. Anggotanya hingga saat ini mencapai angka 800. Tahun lalu sempat ditawarkan untuk tukar guling dengan 7 kios di samping kebun binatang, tetapi ditolak oleh pihak sanggar karena sanggar ini juga merupakan tempat olah rasa. Sanggar ini memiliki tujuan mulia, yaitu selain mengembangkan seni di Jawa Barat, mereka juga menjunjung tinggi pendidikan seni rupa.

Keberadaan sanggar ini sangat menghidupkan Baksil. Konsep yang ditawarkan para seniman terdahulu adalah Baksil menjadi kampung budaya, tetapi sempat tidak digubris oleh pemerintah. Mempergunakan Baksil untuk kegiatan-kegiatan positif sangat menghidupkan lokasi ini. Sayangnya pers dan media yang sering diundang oleh pihak sanggar tidak terlalu sering meliput kegiatan-kegiatan seni di daerah ini. Yang ramai diliput justru malah kejadian-kejadian miring yang terjadi di Baksil seputar kepentingan-kepentingan politik. Baksil seakan tidak memiliki hawa positif.



Pak Susantono menyampaikan keinginannya sebagai seniman bahwa Baksil harus tetap menjadi hutan kota.

"Kenapa harus jauh-jauh kalau mau menghutankan? Kenapa tidak mulai dari Sabuga saja yang dihutankan?",

"Sabuga adalah pemicu awal mulanya pendirian bangunan di Babakan Siliwangi."

Kira-kira begitu yang disampaikan Pak Susantono. Kami yang mahasiswa ITB hanya bisa senyum-senyum kecut. Faktanya Baksil ini memiliki sampai 7 mata air. Mata airnya juga digunakan ITB untuk water tap. Beliau sendiri bingung dan sempat bertanya pada kami.

"Yang saya tahu, Sabuga itu dibangun untuk kepentingan mahasiswa ITB. Lalu kenapa ketika mahasiswa mau menggunakannya, harga yang harus dibayar terlampau mahal? Lalu itu untuk siapa dong?"

Kami hanya diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saya juga ikut berpikir. Bahasan selanjutnya, Pak Susantono juga mempertanyakan soal pengetahuan kami tentang Baksil. Ini cerita lama, bahkan dulu mahasiswa ITB sempat melakukan aksi untuk Baksil. Awalnya ia bertanya asal daerah kami. Hmm.. ternyata warga Bandungnya hanya minoritas. Lalu ia melanjutkan,

"ITB itu punya nama. Tapi kalau mahasiswanya sudah keluar (lulus) dari kampus akan sibuk ke dunia dan daerah masing-masing. Lalu ke mana nilai-nilai itu? Mengapa sekarang kalian harus memulai dari 0 lagi? Tentang tingkat kepedulian harus rajin-rajin diwarisi."

Lagi-lagi kami banyak berpikir di situ, introspeksi diri.

Seniman ini tidak banyak mengerti soal pergelutan politik di Babakan Siliwangi. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa mempertahankan "rumah" nya ini untuk sarana pengembangan seni di Jawa Barat, dan di Indonesia. Saya sebagai pecinta seni pun salut dengan kegigihan mereka. Misinya untuk mengembangkan kesenian tanah air sangat konkrit. Apapun yang terjadi, mereka tetap akan mempertahankan kehidupan sanggar olah seni ini. Melihat lukisan-lukisan dan karya-karya di sini mengingatkan saya untuk kembali mengolah kemampuan seni rupa saya :) Tak jarang mereka menggunakan bahan-bahan alam untuk karya-karya mereka. Tidak ada salahnya untuk kita sering kemari, ikut menghidupkan pendidikan seni di sini. Lokasinya mudah dijangkau kok, dari pintu utama Sabuga, belok saja ke kanan, kemudian jalan lurus saja. Nanti akan ketemu bangunan-bangunan seni ini, tepat di depan pohon-pohon rindang Baksil.

Babakan Siliwangi, beragam kepentingan di sebuah hutan kota

Isu ini belum usai. Ceritanya panjang kalau mau saya ceritakan di sini. Bisa buka link di bawah ini untuk tau cerita lengkapnya :

http://savebabakansiliwangi.wordpress.com/

Babakan Siliwangi adalah salah satu hutan kota yang masih tersisa di Bandung. Fungsinya mungkin memang bukan sebagai daerah resapan, tetapi lebih tepat sebagai paru-paru kota. Hutan kota lainnya yang masih terjaga adalah di daerah Cilaki. Tetapi kondisi di sana memang keberadaannya tidak akan diganggu gugat. Nah untuk daerah Baksil ini, bentukannya memang tidak indah dan tertata. Ada bekas bangunan, sampah-sampah, bahkan pemukiman liar di sini. Pencahayaannya pun terlalu temaram, kesannya menjadi seram dan mungkin itu pula yang membuat orang-orang jadi enggan untuk beraktifitas di sini. Beberapa kenyataan bahwa daerah ini suka menjadi "showroom" mobil keren anak-anak ITB pun sempat membuat miris dan kuping panas. Hal ini sempat menjadi perdebatan ketika anak ITB mau mulai angkat bicara.


Bekas reruntuhan bangunan restoran Sunda

Lokasi ini tadinya ditumbuhi pohon-pohon sebesar lengan.
Masih terdapat sisa-sisa bambu yang menancap untuk dipetak-petakkan


Lalu ada saja pihak yang mempergunakan kesempatan ini. Penebangan liar pohon-pohon dengan dalih membersihkan lahan dari "semak". Okelah memang pohon-pohon yang mereka tebang "hanya" sebesar lengan, tetapi pohon itu juga butuh waktu lama untuk tumbuh sampai sebesar itu, kawan. Selain membabat "semak" di atasnya, mereka juga memasang patok-patok dan menyewakan harga tanah per petaknya seharga 2 juta rupiah. Hmmm... atas dasar apa ya? Padahal sudah jelas kalau pemilik tanah ini adalah Pemerintah Kota Bandung, dengan pengelolaannya dipegang oleh PT. EGI (Istana Group, yang membangun beberapa bangunan di Bandung seperti Istana Plaza dan BEC).

Tanah ini milik Pemerintah Kota Bandung

Informasi yang kami dapat awalnya masih blur. Maka tanggal 26 Mei kemarin saya dan teman-teman sempatkan ke sana, ditemani Kang Sawung dari Walhi Jabar. Baksil letaknya persis di belakang kampus kami, dan tepat di sebelah gedung dan sarana milik ITB, yaitu Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) dan Sarana Olahraga Ganesha (Saraga). Dari pintu masuk menuju kolam renang Saraga, di sisi kiri tampak sisa-sisa reruntuhan bangunan bekas restoran Sunda yang sempat berdiri beberapa tahun yang lalu. Tetapi pada suatu hari ada pengendara bermotor tak dikenal yang melemparkan sesuatu ke atap bangunan yang berbahan mudah terbakar itu sehingga dalam sekejap restoran tersebut pun terbakar. Peristiwa ini yang mengawali bangkrutnya restoran Sunda ini. Pondasi bangunan yang berbahan beton masih ada karena membutuhkan biaya tinggi untuk menghancurkannya.

Di daerah belakang bekas bangunan restoran itu sempat terdapat sekretariat LSM "Forum Peduli Babakan Siliwangi". Dulu sempat ada LSM yang juga bermarkas di sini, namanya HAM. LSM ini mulai mati. semenjak ditinggalkan ketuanya wafat. Forum Babakan Siliwangi ini pun tidak jelas keberadaannya. Ia bersifat ilegal dan tidak dikenal. Keberadaannya baru 5 bulan, katanya. Sumber menyebutkan bahwa pelaku penebangan ini diduga dilakukan oleh LSM ini, dengan dalih membersihkan dari "semak-semak belukar". Tetapi ketka Satpol PP datang, pihak LSM ini tidak muncul batang hidungnya.

Tepat di samping reruntuhan itu adalah lokasi di mana terjadi penebangan liar dan pemetakan daerah. Bekas bambu-bambu yang digunakan sebagai patok masih ada hingga sekarang. Dulu lokasi ini sempat ramai karena ada wacana untuk dibangun mall, restoran, bahkan kondominium! Wah bayangkan saja jalanan akan semacet apa kalau jadi dibangun itu semua. Ha ha ha.


Pelanggaran tata ruang bisa dibawa tim Walhi ke pengadilan. Mereka sempat berhasil di satu kasus di daerah Cieumbeluit. Yang bisa mahasiswa lakukan setidaknya adalah menyesuaikan dengan bidang keilmuan kami masing-masing, kemudian pencerdasan ke masyarakat, sehingga kemudian masyarakat terdorong untuk melakukan aksi.

Kang Sawung menceritakan kalau dalam rencana tata ruang Kota Bandung akan diadakan revisi. Ada wacana bahwa Baksil akan dijadikan zona kuning. Tadinya adalah zona hijau, di mana kontraktor-kontraktor tidak akan berani mengganggu gugat zona itu. Tapi bagaimana jika menjadi kuning? Bahkan zona Baksil yang masih hijau sekarang pun banyak diganggu banyak pihak.

Kemudian yang banyak terjadi di Bandung adalah tidak sesuainya implementasi dan rencana. Pada dasarnya rancangan Kota Bandung sudah ideal. Tetapi pada keberjalanannya, banyak penyimpangan yang dilakukan. Izinnya bisa saja hanya mendirikan bangunan 2 lantai untuk keperluan butik misalnya. Tetapi tiba-tiba keberjalanannya terjadi eskalasi berlebihan dan tiba-tiba berdirilah sebuah apartemen tinggi atau hotel. Hey, banyak sekali kejadian seperti ini teman-teman. Maka sebelum izin dikeluarkan, hal tersebut harus dicegah. Karena ketika izin mendirikan bangunan sudah keluar, akan lebih mudah dilakukan penyimpangan. Kadang kebijakan otonomi daerah itu merugikan juga ya. Ketika dari pemerintah pusat itu dilarang dan pemerintah kota memperbolehkan, ya sudah silahkan saja. Sebagai masyarakat haruslah kritis, karena pemerintah tidak akan bisa apa-apa sebenarnya ketika masyarakatnya tidak setuju.