Kamis, 20 Oktober 2011

Tanya kenapa

Siang ini saya memutuskan untuk pulang cepat karena banyak hal yang harus saya selesaikan. Tetapi niat itu terhambat karena saya menghabiskan hampir 1 jam mengobrol dengan salah seorang teman. Banyak hal yang kami diskusikan, dan ada poin yang saya ingat dan membuat saya berpikir, "Iya juga ya". Bukan hal baru, tapi reminder pas untuk saat ini.

Seringkali seseorang, begitu pun saya melakukan banyak hal tanpa tahu untuk apa dan apa saja poin yang bisa diambil di balik itu.

Itu yang membuat saya tidak merasakan apa-apa saat mengerjakannya
Itu yang membuat saya lelah setelah mengerjakannya
Itu yang membuat saya merasa pekerjaan lain atau milik orang lain lebih menguntungkan dan menyenangkan
Itu yang membuat saya berpikir bahwa itu adalah tugas, bukan dari sisi bahwa akan ada manfaat yang bisa saya, atau orang lain dapatkan dari apa yang saya kerjakan
Itu yang menjadikan saya "perhitungan" dengan pekerjaan itu Itu yang membuat saya tidak ikhlas saat mengerjakannya

Semua hal pasti ada manfaatnya dan bernilai. Hanya saja apakah kita mau cari tahu dan bisa melihat hal-hal tersebut dari sisi positifnya?


Lalu, kenapa saya menulis ini?
:)

Selalu ada alasan manis di balik semua yang kita kerjakan.

Rabu, 19 Oktober 2011

Nasib sisa mata air Babakan Siliwangi

"Bandung, aku akan selalu berusaha menyempurnakanmu"
-Ridwan Kamil-

Isu Babakan Siliwangi. Setelah ramai dibicarakan soal pencanangan sebagai hutan kota dunia, bagaimana kelanjutan nasibnya? Apakah mahasiswa kampus ganesha berdiam diri saja?

Himpunan Mahasiwa Teknik Geologi ITB berbagi di Forum Ganesha Hijau pada tanggal 7 Oktober 2011 lalu. Isunya tentang mata air Babakan Siliwangi.

Babakan Siliwangi BUKAN tempat resapan air, tetapi justru tempat luapan air.

Info ini sudah saya dengar sebelumnya bahwa ada beberapa mata air di Babakan Siliwangi. Beberapa di antaranya digunakan ITB untuk fasilitas watertapnya, sedangkan ada pula yang telah tertutup bangunan. Hanya tersisa satu mata air yang dapat kita lihat wujudnya. Jika dilihat begitu saja, maka akan sangat meragukan bentuknya. Masuklah ke dalam hutan Babakan Siliwangi yang dari arah kolam renang menuju kandang domba, maka kamu akan menemukan seperti kolam kecil di sisi kiri, dan cekungan berisi timbunan sampah dan limbah di kanan. Tetapi ternyata mata air tersebut masih sering dipergunakan warga. Sesekali mungkin kamu bisa menemukan orang yang sedang mandi di sana.

Kondisi mata air (oleh Agnindhira N)

Babakan Siliwangi yang masih belum jelas peruntukannya, pencahayaan minim, sering terjadi kriminalitas, menjadi tempat orang tunawisma, adalah disebut dengan istilah negative space, kalau kata anak arsitek. Sudut seperti ini tidak sehat dan idealnya tidak ada di dalam sebuah kota. Nah, tujuan besarnya adalah menjadikan Baksil sebagai area yang bisa dinikmati publik dengan tetap menjaga ekologinya. Salah satu aspek yang harus dijaga adalah si mata air ini. Kang Emil (panggilan akrab Ridwan Kamil) menantang untuk membuat rekayasa mata air ini sehingga bisa digunakan sebagai mana mestinya.

Kondisi pengelolaan mata airnya masih sederhana. Mata air dikumpulkan dari sumber ke bak pengumpul, di mana setelah itu langsung digunakan. Sedangkan tak jauh dari situ terdapat cekungan yang berisikan limbah bekas terpakainya air.

kondisi penggunaan mata air (Oleh Agnindhira N)

Kami mendiskusikan isu ini dalam forum ini dengan harapan timbul banyak ide dari banyak keprofesian di ITB. Kang Emil menyampaikan bahwa hal terburuk yang akan dilakukan untuk mata air tersebut jika tidak ada solusi terhadapnya adalah menjadikan itu sebagai kolam ikan. Solusi ini merupakan tamparan besar untuk ITB jika tidak memberikan solusi teknologi apapun.

Beberapa usul sempat disampaikan untuk menjadikannya MCK, sumber air minum (perlu pengecekan kualitas air minum), atau bahkan monumen. Acuan besarnya adalah Baksil akan difungsikan menjadi hutan kota untuk umum, tetapi belum termasuk persoalan mata air ini.

Hasil brainstorming kami adalah membutuhkan sejumlah data sebelum masuk ke dalam tahap desain dan penerapan teknologi tepat guna, yaitu :
  1. Kontinutitas mata air. Seberapa banyak air mengalir di situ?
  2. Analisis air. Sejauh mana kelayakan air tersebut dapat digunakan? Apakah sebatas air baku? Atau mungkin air minum? Hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di laboratorium.
  3. Siteplan. Sejauh mana wilayah yang dapat digarap?
  4. Kondisi mata air
  5. Kondisi sosial. Bagaimana pendapat dan masukan warga sekitar mengenai keberadaan dan pemberdayaan mata air ini?
  6. Siapa yang akan mengelola. Hal ini berkaitan dengan antisipasi perawatan selanjutnya. Jika dikelola warga, maka desain teknologi harus disesuaikan dengan budaya dan pendidikan warga. Karena teknologi yang akan dirancang akan dijadikan fasilitas publik.
  7. Bagaimana mekanisme perawatan selanjutnya. Berkaitan dengan desain yang mudah dan murah dalam hal perawatan.
Kajian, solusi, dan langkah selanjutnya akan kami bahas lebih tuntas lagi. Semoga saja keluar gagasan menarik yang dapat kami realisasikan. Apakah ada yang punya ide? :)

Sabtu, 15 Oktober 2011

Susur Sungai Cikapundung

Akhirnya mendapat kesempatan menelusuri Sungai Cikapundung! Cikapundung sekarang sedang berusaha dipercantik dan dialihfungsikan sebagaimana mestinya oleh warga Bandung. Terutama beberapa komunitas dan warga yang punya kepedulian lebih pada sungai ini.

Ceritanya di Sabtu pagi yang cerah tanggal 1 Oktober kemarin, dalam salah satu rangkaian Semud (Sekolah Ijo Muda) yang merupakan rangkaian kaderisasi U-Green ITB. Kami berpetualang menyusuri bantaran Sungai Cikapundung dari Curug (Air terjun) Dago hingga tembusnya ke Cisitu.

Aksesnya tidak sulit, cukup naik angkot Kelapa-Dago, turun di terminal Dago kemudian jalan sedikit sampai menemukan belokan turunan tajam ke bawah. Nanti jalan turuun saja ke bawah dan masuk ke jalan kecil berplang "Prasasti Curug Dago". Jalan setapak ini dibatasi tembok di sebelah kiri dan jurang kecil di sisi kanan. Dalam perjalanan saya menemukan ada sekolah alam di sini. Hmm menarik sepertinya!

Jalan setapak menuju Curug Dago

Jangan jalan keterusan, ketika menemukan jalan turunan ke bawah di sisi kanan, belok lah ke situ. Nah dari situlah kami memulai perjalanan kami. Peserta angkatan 2011 kami berikan tugas untuk mengobservasi dan nantinya akan mewawancarai warga di pemukiman yang kami lewati. Dari tempat ini kami melewati jembatan yang bisa kami lihat di bagian bawahnya adalah aliran sungai yang deras dengan beberapa air terjun. Daan.. ujung-ujungnya tetap ada tumpukan sampah. Berarti sampah ini memang sudah dari hulu, kawan-kawan!



Pemandangan dari jembatan. Lihat timbunan tanah di bagian tengahnya? Itu timbunan sampah lho..

Jalur yang dilewati tidak terlalu sulit, kami tidak selalu berada di tepi sungai. Terkadang melewati permukiman, perumahan elit, sampai sawah yang ada kerbau bajaknya! (saya baru pertama kali lihat kerbau membajak sawah. Hahahaha. Dasar kasihan orang kota).


Penyediaan air bersih yang masih sederhana

Kami sempat berhenti di suatu permukiman, di mana kami bisa turun ke sungainya langsung. Selama menunggu peserta 2011 dan kakak pendampingnya berkeliling, saya dan teman-teman bersantai di pinggir sungai. Sayangnya sungai ini juga lagi-lagi tidak bersih dari sampah. Tapi sepertinya itu bukan masalah besar bagi anak-anak di perkampungan ini. Segerombolan anak laki-laki asyik bercanda dan berenang di situ. Di sisi kanan sungai terdapat pipa berkarat yang besar sekali. Diameternya kira-kira sebesar 1 meter. Karena airnya coklat dan terdapat banyak sampah, saya memilih untuk duduk saja di atas batu.



Sampah di mana-mana

Perjalanan kami lanjutkan lagi. Dengan sedikit menanjak dan melewati padang rumput, kami sampai juga di lokasi penanaman pohon. Lokasi ini dikelola dan dirawat oleh komunitas CRP (Cikapundung Rehabilitation Program). CRP telah berdiri selama 3 tahun. Saya telah mengetahui komunitas ini sebelumnya, tapi ini kali pertama saya mengunjungi langsung ke lapangannya.

Menuju kawasan menanam pohon

Sebelum mulai menanam pohon, kami diberikan kuliah singkat dari tim CRP sambil beristirahat duduk di bawah pohon rindang. Diskusi diawali oleh Abang Te-er yang berbagi pesan singkat untuk kami :

"Meskipun berasal dari beda kota, tapi kalian akan lama tinggal di Bandung. Mari wujudkan sungai bersih, hutan hijau pohonnya, dan kita wujudkan bersama-sama"

Diskusi di bawah pohon rindang

Kang Rohim sebagai pupuhu (ketua dalam bahasa sunda) dari CRP pun bercerita sambil membagi semangat. Meskipun sempat beberapa kali mengeluhkan sambil menunjuk bangunan rumah susun yang sedang dibangun ITB tak jauh dari situ. Beberapa program CRP bersama komunitas lain adalah :
  • Menanam dan merawat pohon
  • Pokja, yaitu memperbaiki alur sungai dari batu berbahaya untuk jalur kukuyaan (semacam body rafting dengan ban), rafting, dan jelajah sungai
Kang Rohim

Asrama ITB yang baru dibangun. Jadi bulan-bulanan warga


Yang selalu ditekankan Kang Rohim adalah :

"Tumbuhkan jiwa naturalis sejak remaja, jangan sampai idealisme itu hilang ketika dewasa"


Asik mendengarkan cerita Kang Rohim, kami pun lalu digiring untuk langsung menanam pohon yang telah kami pesan sebelumnya. Untuk informasi, kita dapat membeli bibit pohon dan menanamnya di lahan ini, kemudian membayar sejumlah uang untuk biaya perawatan yang dilakukan oleh CRP. Saya sibuk mendokumentasikan saja sementara anak-anak 2011 asyik menggali-gali, memasukan benih, dan menyirami pohonnya.


1 pohon per 2 orang

Panas yang terik tidak menyurutkan semangat anak-anak dan panitia. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang dan matahari benar-benar di atas kepala. Kami me review sedikit tentang materi hari itu, yang juga didiskusikan bersama tiap kelompok.

Pada saat yang sama saya mengobrol dengan Kang Soleh, salah satu pegiat komunitas Bagasi (Barudak Gang Siliwangi). Beliau rupanya adalah salah satu petugas Proses Pengolahan Sampah (PPS) Sabuga. Ia banyak berkeluh kesah dan mengecam keberadaan insinerator ITB itu karena gas yang dihasilkan sampai ke rumahnya di daerah Taman Sari. Ada emosi dan harapan dari pembicaraan ini. Ia sangat berharap pada kami sebagai mahasiswa yang memikirkan nasib warga sekitar ITB. Saya bahkan memilih tidak menyebutkan saya berasal dari jurusan Teknik Lingkungan, karena jurusan ini yang selalu disalahkan olehnya. Beberapa informasi saya catat sebagai referensi, tetapi beberapa fakta yang bisa menjadi bantahan saya karena saya tahu cerita lengkapnya di mata kuliah Pengelolaan sampah, saya tahan saja. Mendengar keluhan-keluhan ini ternyata cukup pelik.

Tak berapa lama kami pamit pulang. Hanya dibutuhkan sedikit waktu untuk berjalan ke gerbang menuju jalan umum. Kemudian kami menyusuri gang di daerah Cisitu, dan sampailah kami di daerah permukiman.

Badan basah karena keringat, otak juga cukup berkeringat mendengar wawasan baru, masalah baru. :) Lalu setelah tahu, mau bertindak apa?