Sabtu, 21 Juli 2012

Menengok Sejarah Cidugaleun

21 Juni 2012

Setelah berkeringat dari perjalanan cukup jauh ke mata air Cihantap dengan Pak Wahyu, saya putuskan untuk istirahat sebentar di Kantor Balai Desa. Saya pun tenggelam dalam obrolan ngalor ngidul dengan Pak Wahyu, Pak Ajat, Pak Firdaus, dan Pak Dede ditemani segelas air putih.

Cidugaleun. Asal muasal katanya dari Kedugalan, yang artinya adalah kekuatan. Ya, desa ini terkenal dengan orang-orang berilmu di dalamnya, dengan kekuatan tak tertandingi. Tidak bisa dipandang secara akal sehat. Ilmu-ilmu itu dimiliki oleh para leluhur. Macam-macam jenisnya. Ada yang bisa menggunakan betisnya sebagai penggantu kayu bakar, punya kemampuan pelet, sampai ada pula yang mendapat julukan Sangkuriangnya Cidugaleun, karena bisa menggarap berhektar-hektar sawah tengah malam seorang diri.

Ternyata hal ini tidak asing lagi di telinga penikmat ilmu-ilmu tersebut untuk kepentingan duniawi. Tak jarang pendatang melancong ke Cidugaleun untuk kepentingan jodoh, harta, dan kedudukan. Orang Banten yang hendak menaikan ilmu, pasti ke desa ini dan menginap sampai 4 hari 4 malam. Hanya saja, kabarnya kemampuan ini tidak bisa dinikmati warga Cidugaleun sendiri.

Alkisah namanya Mahdugal Kawasa. Seorang wanita yang cantiknya bukan main. Konon panjang rambutnya lebih dari 10 meter panjangnya. Kabarnya ia adalah salah satu dari penyebar agama Islam di Pulau Jawa, di luar dari yang sering kita dengar, Wali Songo. Meskipun perempuan, kekuatannya bukan main. Banyak sekali yang mau meminangnya, hanya saja terlalu banyak halangan yang menjadikan peminang bahkan tidak bisa menginjakan kaki di tanah Cidugaleun. Yang terkuat adalah Burangrang, itu pun belum sampai benar-benar bertemu dengan Mahdugal.

Hal ini menjadi salah satu kepercayaan masyarakat Cidugaleun, bahwa memanjangkan rambut bagi wanita seperti diharamkan. Selain itu seperti menjadi semacam sumpah, bahwa tidak ada satu pun warga Cidugaleun yang berparas cantik atau tampan. Tetapi ketika mereka keluar dari desa ini, katanya sih ada sesuatu yang menarik dari diri mereka. 

Ada lagi sebuah kepercayaan Sunda, yang kabarnya menjadi salah satu sumpah Mahdugal, bahwa rumah yang dibangun tidak diperbolehkan dengan tembok. Kalau tidak, akan kelaparan. Logisnya, ya ketika lahan sawah diambil alih untuk lahan tempat tinggal yang bertembok, bukan dengan rumah panggung, maka otomatis lahan tersebut tidak bisa digunakan untuk menghasilkan padi.

Pak Firdaus menyebut-nyebut sebuah naskah ejaan Sunda kuno di rumah Pak Endang si kepala dusun, sekaligus juru kunci makam. Saya pun dibuat tertarik. Wah, mengetahui cerita sejarah dibalik tempat yang saya tinggali, rasanya seperti menemukan harta karun!

Sore harinya setelah Ashar, saya ke rumah Pak Wahyu. Secara kebetulan tak lama saya sampai, Pak Endang datang. Setelah diceritakan oleh Pak Wahyu, maka Pak Endang pun memboyong saya, Pak Wahyu, dan Teh Deuis mengunjungi makam Mahdugal dan ke rumahnya.

Salah satu jalan yang kami lewati
Posisinya di Kampung Babakan. Kami harus melewati pematang sawah. Akhirnya sampai juga di hutan kecil tengah sawah. Makam di sana-sini. Hawanya beda. Ketika memasuki hutan itu, rasanya dingin. Jalannya berbatu dan berlumut. Sampailah kami di depan pagar sederhana yang ditutupi potongan tangkai bambu. Setelah menghentakkan kaki tiga kali, Pak Endang membuka pagar dan masuk.

Pintu masuk ke kompleks pemakaman. Siap-siap dengan hawa yang berbeda
Sedikit mendaki jalan berlumut menuju makam Mahdugal
Kompleks makam Mahdugal seluas sekitar 4x3 meter. Saya minta izin mengambil gambar dan diperbolehkan oleh sang juru kunci. Setelah itu tidak sampai 5 menit, kami keluar lagi. Tidak perlu berlama-lama. Langit juga sudah mulai gelap.


Pintu depan. Sang kuncen menghentakkan kaki tiga kali sebelum masuk
Makam Mahdugal Kawasa di sisi kanan
Kemudian saya ikuti lagi Pak Endang menuju kediamannya. Rumah panggung sederhana dengan pemandangan sawah terbentang. Jarak antar rumah berjauhan. Di dekatnya ada makam leluhur Pak Endang, juru kunci yang terdahulu. 


Sambil menunggu Pak Endang menunaikan shalat Ashar, kami disuguhi teh hangat. Beliau keluar kamar membawa naskah yang saya maksud, dan di tangan satunya ada pula kantong yang berisi beberapa barang pusaka. Wah. Saya sangat bersemangat! 


Naskah itu bentuknya seperti buku tulis biasa yang warnanya sudah kekuningan. Ditulis pada era penjajahan Belanda. Bukan dengan aksara sunda, hanya saja ejaannya masih ejaan lama dengan bahasa Sunda yang sangat halus. Ketika saya mengutarakan maksud saya untuk mengetahui isi naskah tersebut di balai desa tadi siang, Pak Firdaus bertanya balik ke saya. "Bener mau tau, Neng? Nanti takut lho"

Kabarnya isi naskah tersebut adalah tentang pembagian zaman di dunia. Bukan hanya Sunda, bukan hanya Indonesia. Tapi dunia. Pak Endang menjanjikan pada saya untuk mengabarin saya jika naskah tersebut sudah diterjemahkan dan diketik ulang dengan bantuan Pak Firdaus. Saya penasaran, tetapi tidak kekeuh untuk harus tahu. Jadi saya tanggapi dengan santai. 


Naskah dengan ejaan sunda kuno

Pusaka turun temurun
Setelah itu saya sibuk melihat-lihat benda pusaka yang ditunjukkan Pak Endang sampai tak sadar langit memang sudah benar-benar mau gelap. Jalan pulang yang akan kami tempuh tidak berlampu, akan gelap gulita di tengah pematang sawah. Maka saya, Pak Wahyu, dan Teh Deuis undur diri.

Wuaaaaaaaaah, hari ini seru sekali! :)



Jumat, 20 Juli 2012

Kilas Pandang Desa Cidugaleun


18 Juni 2012

Mencicipi 2 minggu di tanah Subang, saatnya berpindah haluan ke Tasikmalaya! Meninjau sampel kedua saya, untuk aplikasi program Pamsimas di wilayah Jawa Barat.

Saya berangkat dari Bandung pukul 10.00, setelah menunggu jemputan sekitar 2 jam lamanya di McDonald Simpang. Akhirnya mobil innova biru milik kantor Pamsimas Jawa Barat sampai setelah berjuang melawan macetnya Bandung dari arah Jalan Soekarno Hatta. Lama perjalanan diperkirakan 3 jam, dan Pak Ntis si pengemudi menargetkan pukul 12.00 sudah sampai di Kota Tasik. Tapi nyatanya tetap pukul 13.00 kami sampai di kantor Tasik, letaknya di daerah Mangkubumi. Masih di area kota Tasik.

Setelah beristirahat dan sempat mampir makan, berangkatlah saya ditemani Bu Creni dan Pak Dedi ke desa tempat saya akan menghabiskan hampir 2 minggu saya. Desa Cidugaleun. Ternyata dari Kota Tasik kami mengambil arah putar balik lagi. 

Sebelum berangkat Ibu Creni berkali-kali memperingatkan jeleknya badan jalan yang akan kami lewati. Dan benar saja. Jalannya jelek bukan main! Kalau kata Pak Dedi yang mengantar saya, "Ini sih bukan jelek, tapi jueeleeek", dengan logat Jawanya yang kental.

Belakangan saya tahu kalau jalan tersebut adalah jalan milik pemerintah, maka untuk perbaikannya tidak bisa seenaknya dilakukan oleh warga setempat. Tapi pada kenyataannya belum ada bentuk rekonstruksi jalan oleh pemerintah. Warga Cidugaleun hanya bisa menunggu dengan sabar dan "menikmati" sensasi goyang di jalan.

Saya jadi ikut deg-degan ketika melewati check dam, jalanan yang sisi kanan kirinya langsung berbatasan dengan sungai dan tingginya pun hampir sama. Dulunya ini adalah jembatan. Tetapi karena sempat terbawa lahar di peristiwa letusan Gunung Galunggung, maka jembatannya pun ikut hanyut. Konyolnya, setelah itu dibuat pembangunan tanggul. Tanggul? Hmmm coba saya telaah dulu ya. Apakah tanggul seperti ini bentuknya? Hahahahhaha. Hal ini sempat menjadi bahan bercandaan saya dan warga. Katanya, jika hujan deras turun, maka jalan itu akan tertutup air sungai dan orang tidak bisa lalu lalang di situ. Ada yang nekat melewatinya, alhasil mereka terbawa arus.

Turunannya super curam! Hati-hati kalau hujan deras

Oke akhirnya setelah bergerunjalan di jalan, hap! Akhirnya kami sampai juga! Kira- kira 1-1,5 jam perjalanan dari kota menuju ke sini. Hari sudah sore dan sempat hujan gerimis. Bu Creni yang sudah ketakutan jalanan akan tertutup luapan air dan tidak bisa pulang, segera undur diri.

Satu dari sekian ruas jalan yang jueleek aspalnya.
Desa Cidugaleun posisinya di Kabupaten Tasikmalaya, wilayah Kecamatan Cigalontang. Coba lihat di peta. Desa ini posisinya paling ujung, dan beberapa kilometer lagi kita bisa mencapai Garut! Lucunya, untuk mencapai Kantor Kecamatan Cigalontang, yang mana Desa Cidugaleun tercatat di dalamnya, kita harus melewati 3 kecamatan berbeda dengan jarak tempuh sekitar 1-1-1,5 jam! Kondisi desa di wilayah pegunungan dan berbukit-bukit. Dari desa terlihat jelas Gunung Galunggung dan Gunung Dinding Ari. Udaranya dingin dan bersih. Mayoritas penduduk Cidugaleun bertani, bisa dilihat dari luasnya hamparan sawah di sini. Desa yang luasnya mencapai 912,78 ha ini terdiri atas 4 kedusunan dan belasan perkampungan. Saya tinggal di Dusun Cidugaleun, di mana balai desa didirikan. 

Pemandangan Galunggung dari sisi jalan

Kampung Babakan, salah satu perkampungan yang masih didominasi sawah dan  bentuk rumah panggung

Jalan yang masih mulus
Kira-kira begitulah sekilas kondisi fisik Desa Cidugaleun! Setelah berhari-hari, saya temukan banyak lagi kisah dan tempat menarik di sekitarnya!

Ketika Urusan ke Belakang Menjadi Terbelakang


Setelah menikmati fasilitas sederhana kamar mandi milik keluarga Pak Agan di Desa Ponggang, Subang, ternyata saya salah ekspektasi untuk lokasi kerja praktek kedua saya di Desa Cidugaleun, Tasikmalaya. Saya pikir paling tidak saya akan merasakan fasilitas yang serupa, atau mungkin lebih baik.

Saya tidur di tempat mertua salah satu aparat desa yang aktif juga di program Pamsimas Desa Cidugaleun. Namanya Bu Dedeh. Cerita tentang keluarga ini akan saya ceritakan lebih mendetil lagi nantinya. Satu hal yang membuat saya agak kebingungan di rumah ini, ketika saya perlu ke belakang alias kamar mandi.

Rani : "Bu, punten bade wudhu ka mana ya, Bu?" (dengan bahasa Sunda pas-pasan)
Bu Dedeh : "Mangga di sini neng" sambil menunjuk pintu di sudut yang gelap.

Saya buka... dan hanya ada bak mandi di sisi kiri, dilengkapi dengan baskom besar di lantai. Mana klosetnya? Perasaan saya mulai tidak enak. Ada pintu lagi di sebelah kanan saya. Saya berharap ada benda berlubang alias kloset di sana. Hore ada secercah harapan! Saya buka dan di hadapan saya hanya ada air yang terus mengalir ke bak, yang dari bak tersebut dialirkan lagi air ke ember dan luapan air dari ember tersebut di bawahnya terdapat semacam selokan panjang dengan lebar sekitar 10 cm. Arah alirannya ke kolam di belakangnya.

Nggak mungkin di sini.

Setelah wudhu dan menunaikan shalat Ashar, saya iseng bertanya ke Bu Dedeh, di mana tempat buang airnya.

Bu Dedeh : "Ya di situ bisa, Neng"

Saya hanya senyum-senyum. Mencoba ke sana lagi, celingak celinguk dan mencoba mencerna. Saya tidak mungkin mengeluh dan tiba-tiba minta pindah rumah. 

Sebelum Pak Warman pulang, beliau seperti bisa membaca pikiran saya. Ia meminta maaf karena rumah Bu Dedeh adalah salah satu yang belum memasang septic tank dan jamban saniter. Ia menjanjikan pada saya untuk bisa menggunakan toliet di balai desa. Saya pikir wah lumayan juga harus jalan jauh untuk buang air. Karena tidak mau membuat keadaan lebih tidak enak lagi, saya tidak banyak complain.

Seperti biasa, saya pasti menjalani ritual mandi hari pertama di tempat baru dengan makan waktu yang lebih lama. Sibuk mempelajari seluk beluk dan "sudut aman"nya. Si kamar mandi ini berjendela, tetapi lebih cocok dikatakan dindingnya berlubang persegi panjang dengan mengarah langsung ke luar. Ya tetap bisa disebut kamar mandi pribadi sih.  Pemandangan dari jendelanya adalah kandang ayam, kolam, dan rumah tetangga sebelah. Kalau berdiri sebenarnya tetap aman, cuma karena saya agak parno, saya ambil posisi aman saja deh. Berjongkok. Lagi-lagi harus mandi sambil jongkok setelah pengalaman saya yang serupa di Desa Ponggang. Pada saat seperti ini saya sangat bersyukur dan memandang sebuah kamar mandi yang nyaman adalah barang mewah! Terima kasih ya Allah!

Di sisi kiri, itu yang namanya pacilingan

Pemandangan dari jendela kamar mandi

Jadi begitulah sebagian besar kebiasaan warga Desa Cidugaleun. Mengandalkan kolam-kolam pribadi, bahkan tetangganya untuk menjadi tempat penyalur buangan kakus. Sebelum tahun 2009 ketika diberi penyadaran mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat dan didekatkan akses airnya, hampir semua warganya buang air di pacilingan atau pancuran, semacam gubuk kecil di atas kolam. 

Salah satu pacilingan yang telah dibongkar dan tidak lagi digunakan

Saat ini warganya sudah mengalami peningkatan pesat. Sebagian orang telah tersadarkan untuk membuat jamban yang saniter. Bayangkan saja dulunya ketika sebagian besar orang buang air di atas kolam, yang kemudian airnya mengalir ke selokan dan jatuhnya ke sungai. Belum lagi ketika akses air bersih masih jauh, masyarakat mengambil air dari selokan yang sama! Kelihatannya jernih memang air selokannya. Mengalirnya dari gunung. Tetapi ketika semua buangan mengalir ke sana dan digunakan oleh orang di bawahnya, terbayang kan bagaimana kondisi airnya? Terbukti dengan banyaknya kasus diare dan penyakit kulit pada masa itu.

"Kan jadi makanan ikan?"

Warga banyak yang merasa tidak bermasalah dengan kondisi buang airnya yang seperti itu, karena kotoran yang dikeluarkan akan langsung lenyap dilahap ikan. Mereka tidak menyadari bahaya dan efeknya untuk keluarganya, juga untuk orang-orang di lingkungannya. Seperti efek domino. Posisi Desa Cidugaleun merupakan desa dengan elevasi tertinggi jika dibandingkan dengan desa lain di Tasikmalaya. Sungai ini mengalir ke seluruh wilayah di Kabupaten Tasikmalaya. Jadi memang sudah seharusnya diperbaiki dari hulunya, yaitu desa ini. Ketika diposisikan di zaman dahulu ketika penduduk masih sedikit, mungkin hal ini tidak menjadi masalah yang signifikan. Tetapi ketika kepadatan semakin meningkat, apakah akan terus begini?

Kondisi ini saya pandang sangat memprihatinkan. Mengingat bukan selalu persoalan uang yang jadi kendala penyediaan sarana sanitasi yang layak. Tetapi kesadaran si masyarakat itu sendiri. Jangan terlalu berharap banyak ketika melihat fisik luar sebuah rumah dan interior di dalamnya seperti orang berpunya. Tetapi coba lihat ke kamar mandi dan bagian dapur. Apakah sesuai?

Yang penting adalah apa yang terlihat orang lain. 

Ya mungkin itu juga yang jadi salah satu perkaranya. Fenomena ini bukan asing lagi di mata saya. Sebagian besar masyarakat kita masih berpola pikir seperti ini. Yang di belakang, juga jadi urusan belakangan. Padahal justru tempat-tempat itulah jadi tempat kelahiran si bakal penyakit.

Itu pandangan dan opini dari apa yang saya amati. Ketika urusan ke belakang menjadi terbelakang.

Ini kali pertama saya tinggal di tempat yang belum terfasilitasi jamban yang saniter.Ya, menjadi PR besar untuk saya. Untuk selanjutnya, untuk mendalami jenis pekerjaan ini akan tidak asing lagi menemukan hal-hal seperti ini. Ini tantangan! 


Kembali ke kisah saya di Desa Cidugaleun..

Menjalani hari demi hari di desa ini, akhirnya saya agak terbiasa. Makhluk hidup memang diciptakan untuk bisa beradaptasi. Hehe. Belakangan agak menikmati juga bisa memandang langit dan pemandangan di luar sambil berkegiatan kamar mandi. Hahaha. Apalagi di hari keduanya ada pemandangan baru, burung elang peliharaan Budi, anak ketiga dari Bu Dedeh, bertengger di atap kandang ayam. Meskipun ada rasa bersalah saya karena buang air di tempat ini, tapi ya mau bagaimana lagi. Hanya satu hal yang mempengaruhi, saya enggan menyantap ikan buatan Ibu Dedeh. 

Darimana ikannya?? Dari kolaaam. 
Ikannya makan apa?? Ya... jawab sendiri ya. 


Puasa : belajar kompromi dengan diri


puasa /pu·a·sa/ 1 v menghindari makan, minum, dsb dng sengaja (terutama bertalian dng keagamaan); 2 n Isl salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yg membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum;

Saum (Bahasa Arab: صوم, transliterasi: Sauwm) secara bahasa artinya menahan atau mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. 

Tidak terasa saya telah berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan. Alhamdulillah :)

Puasa adalah bentuk pengendalian diri. Ah, saya lebih suka menyebutnya dengan mendidik diri. Kalau yang namanya mendidik anak tidak boleh dimanja, nah begitu juga dengan memperlakukan diri sendiri.

"Hey badan, tetap kuat ya!" (bicara dengan badan sendiri)

Saya jadi teringat pertemuan Forum Hijau Bandung beberapa hari yang lalu mengenai "Ramadhan Hijau". Adalah sebuah fenomena menarik yang cukup menyentil saya, di mana di kala bulan Ramadhan, masyarakat kita cenderung lebih konsumtif. Itulah kenapa momen ini dimanfaatkan oleh sebagian pedagang untuk menaikan harga barang-barang pokok.

Mengapa?

Coba diingat-ingat. Biasanya memasak makan malam biasa-biasa saja, manakala untuk berbuka, apakah menjadi lebih "wah"? Seperti ada kecenderungan untuk memberi "penghargaan" pada diri sendiri atas usaha menahan lapar dan haus seharian. Atau bisa juga sebagai bentuk penyemangat dalam menjalani puasa sebulan penuh. Lantas, apakah sebegitu besarnya bentuk pengorbanan kita sehingga perlu diberi penghargaan terus menerus, sementara pada kenyataannya pengeluaran justru membengkak selama sebulan ini? Itu hanya salah satu bentuk pembenaran yang dibuat oleh kita sendiri, agar tidak ada perasaan bersalah.

Saya tidak munafik. Saya juga penikmat makanan enak. Terkadang justru ketika perasaan lapar itu membuncah, akan ada berbagai macam keinginan. Kita sebut saja namanya "lapar mata". Belum lagi ketika momen Lebaran itu menjadi momen di mana segala sesuatunya perlu dibuat besar-besaran, segalanya harus baru. 

"Baju baru.. alhamdulillah... Bisa dipakai di hari raya..."

Lalu bagaimana esensi tentang Ramadhan adalah sebuah latihan untuk mendidik hawa nafsu?

Ada sedikit ayat yang saya kutip :

Allah berfirman dalam surat [Al-A'Raaf] ayat 31:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan"

Nabi S.A.W.juga bersabda:
"Kita ini adalah kaum yang makan bila lapar, dan makan tidak kenyang."


Dan bila dikaitkan dengan kesehatan pun, makan berlebihan setelah perut kosong dalam waktu yang panjang sangat tidak baik untuk kesehatan.

Segala bentuk hawa nafsu bukan melulu soal urusan perut. Belajar berkompromi dengan tubuh, kuasai hawa nafsu, belajar mendidik diri, tenangkan dan sucikan hati. Tubuh kita pun butuh "bernafas" dari proses metabolisme yang terus menerus berjalan tiada henti. Begitu pula dengan hati. Badan ini punya kita sendiri. Kalau bukan kita yang mencoba mengenal dan mengendalikannya, lalu siapa? Puasa adalah ajang kita berlatih! Dan beruntungnya lagi ada bentuk pahala yang dilipatgandakan. Wah, sekali mendayung, 2-3 pulau terlampaui! (Jadi berperibahasa sedikit)

Mohon maaf lahir dan batin. Semoga di bulan Ramadhan ini segala bentuk ibadah kita membawa berkah dan dilipatgandakan untuk kita semua. 

Aamiin... Selamat menunaikan ibadah puasa! :)