Minggu, 11 Agustus 2013

Benang Kusut

Saya punya gulungan benang. 

Mau dijadikan apa ya? Baju? Syal? Ah baiklah mari saya tulis dulu. Wah, ada tumpukan ide rupanya. Seharusnya gulungan ini akan jadi banyak hal besar nantinya. 


Mau mulai menjahit, tapi si benang rupanya tidak kooperatif. Untaian benang yang tidak tersambung sama sekali pun bisa jadi saling menempel satu sama lain. Menyerah, lalu mencoba "menutupi" kepusingan dengan memilih menggunakan benang lain yang cenderung tergulung dengan rapi. Mudah, tidak bercelah. 

Tapi toh si benang kucut ini masih ada, menunggu untuk diurusi. Ah, bukannya si benang tidak kooperatif. Mana mungkin ia meluruskan dirinya sendiri. Si empunya yang seharusnya bertanggung jawab.

Baiklah, itu cuma benang dan itu milikmu sendiri. Saya jamin seratus persen pasti akan kau temukan ujung sama ujungnya. Telaah lebih dalam, maka kau akan dapatkan untaian benang panjang, lalu mari jahit seperti yang kau mau. Mungkin ada titik di mana harus kau gunting, dibuat jadi beberapa bagian yang memudahkanmu, atau kau buang sisi kusut itu. Itu pilihanmu. Hanya kau yang bisa kerjakan itu. Sendiri.

Otak kadang rasanya seperti benang kusut. Seakan-akan segala hal menjadi penting, timbunan hal yang harus dikerjakan, mimpi besar, ide yang tidak pernah habis, tuntutan, kebutuhan, belum lagi dari soal kewajiban hingga ego pribadi. 

Tuhan menciptakan manusia dengan nikmat sabar. Dan sabar itu lahirnya dari hati yang ikhlas. 

Hati, tolong bantu otak mengurai benang kusutnya, ya? Kalau tidak, tumpukan ide untuk menyulap si benang menjadi hal-hal besar cuma jadi angan-angan.

Mau tidak?

Ya, saya mau. 

Minggu, 04 Agustus 2013

Cerita Beberes Rumah : Inspirasi Dari Setumpuk Undangan Bekas

Hore! Sudah memasuki masa libur Lebaran!

Bicara soal hari libur, bisa dikatakan hampir setiap libur akhir pekan, waktu kedua orang tua saya habis untuk menghadiri berbagai acara pernikahan. Bahkan terkadang saling bentrok satu sama lain. Pilihannya bisa dengan menghadiri keduanya secara bergantian atau dihadapkan pada pilihan untuk menghadiri salah satu yang dianggap lebih diprioritaskan untuk dihadiri. Saya tidak bilang yang lainnya tidak penting, tapi bisa diukur dari kedekatan hubungan hingga jarak tempuh menuju gedung resepsi pernikahan. 

Kalau sudah di rumah dan ibu saya pun sudah memasuki masa cuti, pasti ada satu agenda yang tidak pernah absen (selagi tidak ada acara lain di luar), yaitu adalah beberes rumah!

Oh baiklah, rupanya ada satu kardus berisi barang antah berantah di sudut dekat piano. (Mulai sisingkan lengan)

Kami berdua sama-sama mengambil posisi untuk memilih dan memilah isi kardus itu. Dan ini dia! Sebagian besar isinya adalah bertumpuk-tumpuk undangan resepsi pernikahan. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, bahwa kedua orang tua saya "hobi"nya setiap akhir pekan menghadiri undangan-undangan ini. Kami mengambil satu kardus yang ukurannya lebih kecil untuk memisahkannya.

Kami terbiasa untuk memanfaatkan bekas barang yang tampak potensial untuk dibuat sesuatu. Paling sederhana yang biasa ibu saya lakukan adalah memotong motif-motif yang biasa ada di sisi tertentu lembar undangan, lalu dimanfaatkan sebagai pembatas buku. Namun kami kesulitan menemukan ide untuk memanfaatkan bentuk undangan dengan kertas-kertas tebalnya menyerupai tripleks, dari yang sederhana sampai yang "wah". Dari yang hanya menggunakan bahan dasar kertas hingga kain beludru.


Salah satu contoh undangan berbahan tebal. Yang seperti ini hanya berakhir di tempat sampah

Contoh potongan lembar undangan untuk dijadikan pembatas buku

Melihat bekas-bekas undangan ini sambil memasukannya ke kardus membuat saya banyak berpikir akan dikemanakan sampah-sampah ini. Sebenarnya jika dicari pasti ada beberapa oknum pengusaha yang mulai memanfaatkan sampah-sampah sisa undangan ini. Namun banyaknya saya rasa tidak berbanding lurus dengan jumlah resepsi pernikahan yang berlangsung di dalam sebuah kota.

Tumpukan undangan yang siap disisihkan

Mungkin belum menjadi sebuah pertimbangan utama dalam mendesain sebuah kemasan (saya katakan ini sebagai sebuah kemasan, penampilan luar), mengenai bagaimana keberlanjutan bahan yang digunakan itu akan berakhir. Dalam hal ini adalah sebuah desain undangan, yang saya rasa tidak semuanya dapat terolah dengan mudah. Mungkin lain ceritanya jika infrastruktur pengelolaan sampah di negara kita ini sudah benar-benar mumpuni dan masyarakatnya siap dengan sistem yang diberlakukan, sehingga sampah bukan lagi menjadi tumpukan masalah. 

Saya jadi teringat bentuk undangan pernikahan kakak perempuan saya tahun lalu. Kami sekeluarga sepakat untuk menggunakan lembaran cenderung tipis, tidak mengkilat, dengan desain sederhana namun tetap ada detil yang menjadi keinginan calon mempelai laki-laki dan perempuan. Tanggapannya macam-macam rupanya. Sebagian besar mungkin bertanya-tanya mengapa penggunaan bahan undangannya begitu sederhana?

Kemasan itu penting. Sebagian besar orang menilai niat dan besar/tidaknya acara itu dari tampilan awal, yaitu sebuah undangan. Tetapi mungkin kita dipaksa untuk berpikir lebih kreatif lagi dalam mendesain sesuatu, melihatnya dari berbagai aspek, yaitu : ekonomi, lingkungan, dan estetika.


Hahaha. Bicara soal temuan dari beberes rumah pikiran saya jadi ke mana-mana. Saya pribadi memutar otak sambil memilah tumpukan undangan ini. Akhirnya saya memisahkan sebuah potongan kain hijau dari hiasan ikat sebuah undangan dan selembar amplop undangan untuk saya "jodohkan" dengan buku agenda saya :) Hore!


Potongan kain ditemukan dalam keadaan lecek. Disetrika terlebih dulu supaya rapi dan mudah digunakan :)

Memanfaatkan potongan lembar undangan yang polos

Kain yang sudah disetrika dipotong-potong sesuai ukuran buku

Voila! Jadilah buku agenda saya bersampul kain ini. Warnanya pas dengan pita pembatas bukunya!

Bagian dalam agenda, seperti biasa sama seperti tahun 2012 lalu

Sisi dalam bagian belakang, untuk menyelipkan kertas-kertas kecil

Berpikir panjang sebelum mendesain sesuatu, supaya ujung-ujungnya tidak hanya jadi tumpukan sampah tidak berarti. Kalau sudah terlanjut ada, yuk putar otak dan manfaatkan sisa-sisa barang yang ada.