Kamis, 09 Januari 2014

Kisah Sang Kakek dan Cucunya

Setelah beradu dengan waktu dan berhasil menemui dosen pembimbing saya untuk meminta tanda tangan, saya putuskan untuk berbincang sejenak dengan beberapa kawan seperjuangan saya. Langit sebenarnya sudah mendung. Dan benar saja, langit menguras diri dan menurunkan air berton-ton jumlahnya dan berhasil menyurutkan niat dan menahan saya untuk pulang.

Perbincangan tentang hidup. Memaknai hal-hal kecil. Lalu ada sebuah kisah sederhana yang dilontarkan salah seorang teman saya tentang shalat, ibadah wajib bagi seorang muslim. Lagi-lagi saya tuliskan sebagai pengingat untuk diri sendiri. Begini ceritanya.

 .....

Alkisah di sebuah desa, seorang anak laki-laki tinggal dengan seorang kakeknya. Kakek ini terkenal akan pribadinya yang shaleh dan tidak pernah meninggalkan shalatnya. Tidak lupa sang kakek selalu mengingatkan cucunya untuk selalu menunaikan ibadah ini setiap saat, dalam 5 waktu. Sang cucu selalu mengikuti perintah kakeknya hingga suatu hari sang cucu mungkin mulai merasa bosan dengan rutinitas tersebut. Ia tidak merasakan manfaat yang berarti atas pengulangan ritual 5 kali sehari yang kata sang kakek sebagai bentuk ibadah kepada Yang Maha Kuasa.

Ketika sampai di titik kejenuhannya, sang cucu bertanya pada sang kakek, untuk apa ia harus melaksanakan shalat sementara ia tidak merasakan perubahan apa-apa? Sang kakek tidak langsung menjawab. Ia ambil sebuah ember yang kotor akan tanah dan berlubang. Ia minta cucunya untuk mengambil air di sungai untuk mengisi penuh bak air di rumah. 

Dengan masih diliputi perasaan heran, perlahan sang cucu ikuti permintaan kakeknya. Ia harus melalui jalan turunan dan tanjakan untuk menuju sungai. Setiap ia mengambil seember penuh air, ia tetap harus melewati perjalanan yang cukup jauh. Setiap sampai di rumah, air di embernya tersisa sedikit. Air yang ia ambil perlahan-lahan keluar dari lubang selama perjalanannya. Beberapa kali si cucu bolak-balik, namun air yang berhasil dibawanya tidak seberapa. 

Sampai di titik jenuh dan kesalnya, ia menghampiri si kakek dan menanyakan untuk apa si kakek memintanya melakukan hal yang sia-sia itu? Mengapa harus mengambil air dengan ember yang kotor bahkan berlubang? Sambil menunjuk bak air yang tidak kunjung penuh dan air yang diambil menjadi kotor akibat tanah yang menempel dari ember, ia mempertanyakan permintaan yang dianggapnya aneh itu.

Lalu sang kakek memanggil cucunya dan memintanya untuk memperhatikan ember kotor dan berlubang yang ia bawa. Ia menanyakan ke cucunya, apa yang anak itu lihat di ember sebelumnya dan apa yang berbeda setelah ia bolak-balik mengambil air. Rupanya ember berlubang yang tadinya kotor sekali oleh tanah tersebut menjadi bersih sekali. 

Mungkin kita terlalu terfokus pada hasil yang kita harapkan dalam usaha kita, dalam hal ini adalah memenuhi isi bak air. Namun tanpa kita sadari, ada hal lain yang kita dapatkan atas usaha dan sesuatu yang kita tekuni. Usaha kita untuk berulang kali mengambil air rupanya tanpa kita sadari membersihkan si ember itu sendiri.

Hati

Tanpa kita sadari, di luar ekspektasi yang kita harapkan, dengan secara konsisten beribadah dan berkomunikasi dengan Yang di Atas akan dengan perlahan membersihkan hati kita. Maka "air" yang kita ambil dengan "ember" yang perlahan menjadi bersih menyebabkan si air yang dikumpulkan olehnya juga semakin bersih dan dapat dimanfaatkan.

Selamat menimba air dengan embermu!

:)

Selasa, 07 Januari 2014

Upah, Kerja, dan Berkah

Sudah hampir satu semester lamanya saya tidak mendengarkan siraman rohani dari salah seorang teman sekaligus guru bagi saya, Rahmi Khoerunisa. Siang tadi saya, Yufie, dan Ami duduk bertiga di pelataran Masjid Salman untuk berbagi, saling memberi angin segar untuk kebutuhan rohani. 

Kami berdiskusi banyak hal. Saya dan Yufie cenderung menjadi pendengar atas lontaran ayat dan kisah dari Ami yang menenangkan hati. Alhamdulillah Allah mengirimkan teman saya yang satu ini untuk menjadi teman berbagi tentang ilmu-Nya. Saya tuliskan kembali sebagian yang saya dapatkan, untuk menjadi pengingat diri sendiri.

Salah satu kisah di bawah ini cukup menjadi bekal pengingat kami yang akan memulai fase baru, mengakhiri sekolah formal dan mulai menghidupi diri sendiri.

Seseorang datang kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Namun anehnya, Imam Syafi’i justru menyuruh dia untuk
menyedekahkan 1 dirham dari gajinya, sehingga ia hanya dapat menggunakan 4 dirham untuk keperluannya. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya untuk kembali menyedekahkan 2 dirham dari gajinya, sehingga ia hanya dapat menggunakan 3 dirham untuk hidupnya. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan perasaan sangat heran.

Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi’i dan berterima kasih atas nasehatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercambur dengannya.

Sebenarnya poin utamanya adalah bukan besar kecilnya atas apa yang kita dapatkan, tetapi apakah itu memang menjadi hak atas apa yang kita kerjakan. Realistis dengan keperluan hidup sehari-harinya? Oh ya tetap perlu. Tetapi percayalah kalau manusia dibekali ilmu untuk mengatur keperluan hidupnya sebijaksana mungkin.

Di samping hitung-hitungan pemasukan-pengeluaran tersebut, jangan lupa untuk selalu merefleksikan nilai berkah atas apa yang kita kerjakan dan dapatkan.

Ketika kita merasa berkecukupan atas apa yang kita terima,
ketika kita dimudahkan atas setiap proses dan perjalanan kita,
dan ketika pribadi kita menjadi lebih baik, lebih dekat dengan Yang di Atas

InsyaAllah apa yang kita kerjakan memang berkah. 
Maka tetaplah berprasangka baik dengan skenario ke depannya. 

.....

"Kemampuan manusia memang terbatas, tetapi pertolongan Allah tidak terbatas"

Kalimat di atas mengakhiri bincang-bincang penyejuk hati kami. Pas sekali diucapkan ketika pada fase saya saat ini. Tetap yakin, berprasangka baik, dan semangat bekerja keras untuk apapun yang sedang dikerjakan di depan mata! :)

Selamat memulai tahun 2014!