Dua perempuan muda ini sudah beberapa kali menemui saya. "Ustadzah, nanti kami mau mengobrol ya?" Saya pasang dua jempol untuk mereka. Setelah menentukan waktu bertemu, saya pun melanjutkan aktifitas saya. Kami sama-sama sibuk. Salah satu perempuan itu adalah anak dengan segudang prestasi yang sibuknya minta ampun. Menyocokkan jadwal dengan dirinya bukan perkara mudah, meskipun kami tinggal di satu area.
Mendekati pukul 5 sore, saya berpapasan lagi dengan mereka. Saya berikan kode untuk menunggu saya di saung. Saya boyong anak semata wayang saya ke sana. Si anak berprestasi ini membuka obrolan lebih dulu. Dirinya mau mengajukan diri menjadi ketua organisasi siswa. Ia mengajak salah seorang teman sekelasnya, yang mana tidak saya sangka akan mau ikut aktif mengikuti kampanye pemilihan ketua ini.
Menjadi ketua organisasi di sekolah tempat saya mengajar bukan perkara mudah. Karena ini adalah sekolah berasrama, seluruh tetek bengek kehidupan diurus. Rasanya memang seperti simulasi mengurus sebuah kota kecil. Mulai dari keamanan, kebersihan, kesehatan, pengembangan minat bakat, sampai urusan fasiliitas umum dikelola. Maka tentu saja tantangannya jauh berbeda dengan ketua OSIS di luar sana pada umumnya.
Mereka mengharapkan nasehat. Saya sempat terdiam sebentar. Untungnya anak saya sedang mengantuk dan minta untuk menyusui. Maka saya bisa berbicara dengan tenang. Saya bicara apa adanya. Saya bicara berdasarkan pengalaman saya. Pesan saya, kerja ikhlas dan lakukan seluruh amanah dengan sepenuh hati. Itu saja. Pembicaraan mengalir begitu saja. Saya pun larut dalam kisah saya, bagaimana saya bisa konsisten ada di tempat saya mengajar sekarang ini.
"Rizki itu Allah kok yang mengatur. Intinya, percaya aja deh sama ayat Allah,
‘Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.’ (QS. Muhammad:7)
Anak-anak ini memang sudah seperti keluarga bagi saya. Cerita saya mengalir seperti air. Kedua perempuan muda ini mendengarkan dengan seksama, sesekali menuliskan poin yang mereka anggap penting. Sejujurnya, saya memang bersemangat dan menggebu-gebu sekali bercerita. Tidak ada yang saya tutup-tutupi. Di ujung cerita, tiba-tiba salah seorang perempuan muda ini menitikkan air mata. Ia adalah perempuan yang tidak pernah terbersit di bayangan saya akan menangis. Saya pun tidak terpikir sama sekali akan membuat ia tersentuh haru. Beberapa tetes air mata dan kalimat singkat darinya menanggapi cerita saya, sudah cukup membuktikan bahwa hatinya tersentuh. Allah memang maha membolak balikkan hati. Saya teringat pesan pimpinan sekolah saya,
"Jika ingin menyentuh hati anak-anak, gunakanlah hati ketika berkomunikasi dengan mereka"
Setelah perbincangan sore ini kami sudahi, saya berjalan pulang dengan senyum lebar dan hati yang sangat lapang. Perbincangan ringan tadi sedikit banyak memberikan percikan semangat dan menampakkan sinyal dari Allah, bahwa saya harus konsisten dan lebih bekerja keras atas apa yang saya jalani saat ini. Karena anak-anak ini membutuhkan figur yang bisa membawa mereka menghadapi tantangan berat di masa depan. Saya tidak akan biarkan mereka patah semangat dan kalah sebelum bertanding dengan persaingan di luar sana nanti.