Tampilkan postingan dengan label berbagi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berbagi. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Februari 2020

Menyentuh Hati dengan Hati

Dua perempuan muda ini sudah beberapa kali menemui saya. "Ustadzah, nanti kami mau mengobrol ya?" Saya pasang dua jempol untuk mereka. Setelah menentukan waktu bertemu, saya pun melanjutkan aktifitas saya. Kami sama-sama sibuk. Salah satu perempuan itu adalah anak dengan segudang prestasi yang sibuknya minta ampun. Menyocokkan jadwal dengan dirinya bukan perkara mudah, meskipun kami tinggal di satu area. 

Mendekati pukul 5 sore, saya berpapasan lagi dengan mereka. Saya berikan kode untuk menunggu saya di saung. Saya boyong anak semata wayang saya ke sana. Si anak berprestasi ini membuka obrolan lebih dulu. Dirinya mau mengajukan diri menjadi ketua organisasi siswa. Ia mengajak salah seorang teman sekelasnya, yang mana tidak saya sangka akan mau ikut aktif mengikuti kampanye pemilihan ketua ini.

Menjadi ketua organisasi di sekolah tempat saya mengajar bukan perkara mudah. Karena ini adalah sekolah berasrama, seluruh tetek bengek kehidupan diurus. Rasanya memang seperti simulasi mengurus sebuah kota kecil. Mulai dari keamanan, kebersihan, kesehatan, pengembangan minat bakat, sampai urusan fasiliitas umum dikelola. Maka tentu saja tantangannya jauh berbeda dengan ketua OSIS di luar sana pada umumnya. 

Mereka mengharapkan nasehat. Saya sempat terdiam sebentar. Untungnya anak saya sedang mengantuk dan minta untuk menyusui. Maka saya bisa berbicara dengan tenang. Saya bicara apa adanya. Saya bicara berdasarkan pengalaman saya. Pesan saya, kerja ikhlas dan lakukan seluruh amanah dengan sepenuh hati. Itu saja. Pembicaraan mengalir begitu saja. Saya pun larut dalam kisah saya, bagaimana saya bisa konsisten ada di tempat saya mengajar sekarang ini.

"Rizki itu Allah kok yang mengatur. Intinya, percaya aja deh sama ayat Allah,
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong  Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.’ (QS. Muhammad:7)
Anak-anak ini memang sudah seperti keluarga bagi saya. Cerita saya mengalir seperti air. Kedua perempuan muda ini mendengarkan dengan seksama, sesekali menuliskan poin yang mereka anggap penting. Sejujurnya, saya memang bersemangat dan menggebu-gebu sekali bercerita. Tidak ada yang saya tutup-tutupi. Di ujung cerita, tiba-tiba salah seorang perempuan muda ini menitikkan air mata. Ia adalah perempuan yang tidak pernah terbersit di bayangan saya akan menangis. Saya pun tidak terpikir sama sekali akan membuat ia tersentuh haru. Beberapa tetes air mata dan kalimat singkat darinya menanggapi cerita saya, sudah cukup membuktikan bahwa hatinya tersentuh. Allah memang maha membolak balikkan hati. Saya teringat pesan pimpinan sekolah saya,

 "Jika ingin menyentuh hati anak-anak, gunakanlah hati ketika berkomunikasi dengan mereka"

Setelah perbincangan sore ini kami sudahi, saya berjalan pulang dengan senyum lebar dan hati yang sangat lapang. Perbincangan ringan tadi sedikit banyak memberikan percikan semangat dan menampakkan sinyal dari Allah, bahwa saya harus konsisten dan lebih bekerja keras atas apa yang saya jalani saat ini. Karena anak-anak ini membutuhkan figur yang bisa membawa mereka menghadapi tantangan berat di masa depan. Saya tidak akan biarkan mereka patah semangat dan kalah sebelum bertanding dengan persaingan di luar sana nanti.

Sabtu, 03 Desember 2016

Menjadi Guru

Hujan turun rintik-rintik di luar. Angin dingin menusuk tulangku. Wangi tanah basah menggelitik hidungku. Dari kejauhan tampak muridku sedang berjalan bertiga dari arah asrama, dengan membawa tumpukan kotak makanan milik kawan seasramanya. Wajah mereka cerah. Hujan tak menyurutkan kewajiban piket mereka, meskipun perlu berjalan melintasi pondok menuju dapur umum sambil membawa payung. Sepayung bertiga.

Senyum tipis tersungging di bibirku. Ya, hal ini adalah salah satu hal yang membuatku kerasan mengajar. Bahagia itu adalah ketika aku dapat menyaksikan buah-buah didikan dari sistem pendidikan yang kami bangun bersama-sama. Buahnya mungkin belum matang betul, namun baru melihat cikal bakal tumbuhannya yang tumbuh subur, senyum lebar akan selalu menghiasi bibirku.

Anak-anak ini ibarat sebuah tanaman. Mereka dipindahkan dari potnya yang nyaman, yaitu kampung halamannya. Berat, seperti layaknya sebuah tanaman yang baru dipindahkan ke tanah yang baru. Hidupnya akan merana karena tidak terbiasa jauh dari zona nyamannya. Yang mana sebelumnya keperluannya disiapkan orang tua, makan bisa seenaknya, dan bermain bisa sesuka hati saja. Namun masuk ke tanah yang baik dengan nutrisi dan lingkungan yang baik akan mengubah  kehidupan tanaman tersebut. Seorang anak yang dicemplungkan dalam lingkungan yang baik, asalkan terus konsisten dan dirinya berjiwa pembelajar, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa.

Bagi kami para pendidik pun, hal terberat juga kami rasakan pada saat menangani benih-benih baru. Kami perlu menanamkan nilai-nilai yang mungkin asing di telinga mereka sebelumnya. Tak jarang kami habiskan waktu kami untuk sekedar menemani dan memahamkan anak yang tidak mau makan, yang merengek minta pulang, yang rindu masakan ibundanya, sampai yang bermasalah dengan temannya. Hal remeh temeh menurut orang dewasa bisa menjadi tantangan besar dalam perjalanan hidup seorang anak.

Senyum akan terus tersimpul di bibirku, setiap hari memerhatikan perubahan-perubahan kecil dari setiap anak. Gigi yang bersih, raut wajah segar, dan salam ketika berpapasan rasanya menjadi lebih dari cukup. Meskipun tak selalu kuberikan senyum manis ketika mereka melakukan kesalahan. Beberapa kalimat nasihat bernada tinggi dan tegas juga menjadi makanan mereka untuk menjadi lebih berhati-hati dalam bertingkah laku.

Itulah menjadi guru. Menjadi guru tak pernah sebersit pun terlintas dalam pikiranku sebelumnya. Kupikir aku hanya akan menjadi guru untuk anakku kelak. Namun rupanya Allah memberikan kesempatan berpuluh-puluh kali lipat lebih besar untuk berproses dalam melahirkan generasi unggul di masa depan, yang akan memegang estafetan kepemimpinan bangsa ini.

Anak-anak didikku juga guruku. Justru aku belajar banyak sekali tentang kehidupan melalui proses mendidik. Sekolah itu memang untuk belajar hidup bagi seluruh elemen di dalamnya. Baik untuk anak yang dididik, pendidik, orang tua, dan seluruh pihak yang terlibat. Percaya atau tidak, dari mengajar justru berbagai macam keahlian dan keterampilan milikku meningkat pesat, baik soft skill  maupun hard skill. Mulai dari kemampuan komunikasi, bernegosiasi, ilmu kesehatan, dan masih banyak lagi. Maklum, proses pendidikan ini berlangsung 24 jam. Hal remeh untuk membiasakan minum air putih setiap hari saja bisa jadi tantangan yang besar.

Pendidikan adalah investasi untuk jangka panjang. Aku belum tentu bisa menyaksikan keberhasilannya dalam jangka waktu dekat, tetapi keberhasilan itu pasti akan terjadi. Karena SDM adalah kunci keberhasilan dan kemajuan suatu bangsa. Selamat hari guru :)

Kamis, 29 September 2016

Lantunan Penyentil Para Pemuda

begitu banyak rintangan yang harus kita hadapi
lalu mengapa kau diam saja tak berdaya
di belia usia di masa yang paling indah
kau tampak tak bergairah

sementara yang lainnya hidup seenaknya
seakan waktu takkan pernah ada akhirnya
hanya mengejar kepentingan diri sendiri
lalu cuek akan derita sekitarnya

astaga, apa yang sedang terjadi
oh oh astaga, hendak kemana semua ini
bila kaum muda sudah tak mau lagi peduli
mudah putus asa dan kehilangan arah

apa yang terjadi, hendak kemana semua ini
apa yang terjadi, sudah tak mau peduli
apa yang terjadi, hendak kemana semua ini
apa yang terjadi, sudah tak mau peduli

***

Lagu yang populer di era 90-an ini menarik perhatian saya saat telepon genggam salah seorang kawan saya berdering. Kembalilah saya di masa kecil saya, ketika mendengar lagu yang dilantunkan Ruth Sahanaya, lalu dinyanyikan ulang oleh Andien ini.

Namun momennya berbeda. Saat dulu saya masih kecil, saya belum memperhatikan lirik setiap lagu. Yang saya ingat hanya bagian "Astaga, apa yang sedang terjadi" - nya saja. Sisanya? Saya lupa sama sekali. Ditambah lagi, lagu tersebut memang bukan menyasar pada saya yang masih ingusan saat itu.

Sekarang, setelah ditilik lebih dalam, rupanya pesan dalam lagu ini sangat dalam, khususnya untuk para pemuda. Dibawakan dengan nada lebih bersemangat oleh Ruth Sahanaya, tanda sebuah peringatan, dan dengan gaya easy listening oleh Andien, tanda sebuah perenungan.

oh oh astaga, hendak kemana semua ini
bila kaum muda sudah tak mau lagi peduli
mudah putus asa dan kehilangan arah

Ayo bangun wahai pemuda!

#selfreminder

Sabtu, 20 Februari 2016

Membangun Peradaban Bersih dari Sekolah


Meskipun buahnya baru akan kita saksikan dan nikmati 10 hingga 20 tahun lebih ke depan, namun berinvestasi dalam bidang pendidikan itu adalah suatu keniscayaan. Jika ingin mengubah nasib suatu bangsa, maka mulailah dari sektor pendidikannya.

Tulisan ini adalah hasil buah pikiran dari Zahra Nur Asyifa, santri kelas X Pondok Pesantren Modern Al Umanaa (Al Umanaa Boarding School), Sukabumi

***

Dua hari yang lalu, salah satu guru di sekolah saya memperlihatkan kondisi Sungai Citarum milik Indonesia kita ini. Sungguh, sungai itu sudah tidak cocok disebut sungai air! Lebih cocok disebut sungai sampah. Beberapa kali saya berkunjung ke Jakarta, dan hal yang selalu menarik mata hanyalah betapa banyaknya sampah berserakan tanpa mengenal estetika di jalanan, di selokan, dan tempat umum lainnya. Alhasil, bencanalah yang datang, seperti banjir, yang sering terjadi di negara kita ini, sampai-sampai ada longsor sampah, yang terkenal sebagai peristiwa Leuwi Gajah yang menewaskan ratusan orang, dan bencana lainnya.  Ini menunjukkan betapa kotornya negara kita ini, betapa buruknya sistem pengelolaan sampah yang dimiliki negeri ini!
Padahal, kebersihan adalah salah satu tolak ukur tingginya peradaban suatu bangsa. Maka keberhasilan pengelolaan sampah menjadi indikator keberhasilan suatu bangsa membangun peradabannya.  Sedangkan Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Oleh karena itu, saya sebagai calon pemimpin bangsa ingin mengubah kenyataan ini dengan mengajak para pembaca semua untuk membangun sistem pengelolaan sampah Indonesia dari sekarang.

Namun, ketika kita sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik, kesuksesan sistem itu bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Maka, Indonesia memerlukan rakyat yang mau dan mampu mengikuti sistem pengelolaan sampah tersebut. Sebenarnya Indonesia juga telah memiliki sistem pengelolaan sampahnya sendiri. Buktinya, banyak saya temui tempat sampah organik dan anorganik di beberapa kota yang pernah saya kunjungi. Namun, karena rendahnya kepedulian SDM-SDM Indonesia, pemilahan sederhana seperti itu saja tidak berjalan dengan baik. Jadi, Indonesia perlu sumber daya manusia yang memiliki kepedulian tinggi dan pastinya berintegritas.

Untuk merealisasikannya, sekolah adalah tempat yang paling tepat. Di sekolahlah pendidikan berlangsung, di sekolahlah orang-orang dikembangkan ilmunya, disempurnakan integritasnya. Sekolah memang tempat yang tepat untuk melahirkan SDM-SDM berkualitas, SDM-SDM yang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan, SDM yang mau dan mampu mengelola sampahnya. Karenanya, sekolah pasti dapat menjadi solusi bagi permasalahan sampah Indonesia.


Pemilahan sampah di Al Umanaa

Contohnya sekolah saya sendiri, Al Umanaa. Kami selalu ditanamkan pemahaman bahwa “Kebersihan itu Sebagian dari Iman”, sehingga siswa-siswi di sekolah saya takut jika membuang sampah sembarangan.  Sekolah saya telah memulai pengelolaan sampahnya sendiri. Sampah kami pilah menjadi enam jenis, compostable (sampah mudah terurai), recyclable (sampah yang dapat didaur ulang), sanitary waste (sampah medis), hazardous waste (sampah berbahaya), trash (sampah yang tidak dapat didaur ulang), dan paper (kertas). Sampah kertas selanjutnya kami olah menjadi kertas daur ulang (recycle paper). Sistem pemilahan enam jenis ini baru kami mulai Januari 2016. Sebelumnya kami hanya memilah sampah menjadi dua jenis, yaitu organik dan anorganik. Alhamdulillah, sistem ini berhasil dijalankan dengan sempurna oleh siswa-siswinya hanya dalam rentang waktu satu minggu. Ini disebabkan karena kami berada dalam sistem pendidikan yang baik. Setiap kesalahan pasti akan ditegur dan dievaluasi secara langsung. Hal ini menyebabkan kami terbiasa untuk membuang sampah dengan benar. Kami pun terdorong untuk memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, seperti motto kami “Kami tinggal di bumi, dan kami mencintainya. Maka, mari menjaganya!” 

Jadi, saya sangat yakin bahwa lembaga pendidikan adalah tempat yang benar-benar tepat untuk memulai sistem pengelolaan sampah yang baik. Insya Allah, jika semua sekolah di Indonesia telah melakukan pendidikan sampah pada siswanya, maka rumah-rumah, kantor-kantor, dan tempat-tempat umum pun akan mengelola sampahnya dengan baik. Karena sekolahlah yang menentukan kualitas masyarakat suatu bangsa. Alhasil, Indonesia dapat menjadi negara yang beradab! Negara yang maju dan bermartabat!

Tulisan ini dikutip dari : http://www.alumanaa.com/?p=634

Rabu, 13 Januari 2016

Ilmu dari Alam

Saya adalah anak yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota. Segala akses kemudahan teknologi di kota besar sudah saya cicipi. Dari aktivitas saya sejak kecil hingga kuliah, keluarga saya menilai bahwa saya memang senang bermain di alam. Saat itu, saya mengamini hal tersebut. Namun saya definisikan bermain, belajar, dan mencintai alam sesuai dengan pengalaman saya saat itu. Dari kecintaan saya berjalan-jalan ke alam bebas, aktivitas outdoor tanpa khawatir warna kulit menjadi gelap, dan aktivitas saya di bidang pelestarian lingkungan, saya merasa bahwa diri saya sangat mencintai alam ciptaan-Nya ini, dan ingin banyak dekat dengan alam. 

Berpindah kota ke Bandung saat kuliah adalah sebuah kemahalan bagi saya ketika bisa mendapatkan bahwa menemukan daerah pepohonan yang masih hijau tidak sulit di sini. Bahkan jika disempatkan, saya bisa menikmati setiap akhir pekan saya untuk ‘dekat dengan alam’. Sampai saat itu, saya masih merasa bahwa saya memang mencintai alam ini.
Tak kenal maka tak sayang
Di detik ini, saya harus katakan bahwa saya salah mengenali diri saya. Saya tidak pernah benar-benar mencintai alam ini. Bahkan saya hanya menjadikannya sebuah ‘hiburan’ di tengah kesibukan saya yang lain, sebagai pemanis di tengah kesuntukan saya, dan sebagai latar indah di balik foto-foto saya. Saya tidak sedikitpun menghabiskan keringat dan pikiran dalam hidup saya dengan pertanyaan seperti : “Darimana makanan saya berasal? Bagaimana cara saya mengelola alam agar saya dan generasi selanjutnya bisa menghasilkan bahan makanan seperti ini?”. 

Alam menjadi tanggung jawab manusia untuk dikelola dengan bijaksana, sebagai pemenuhan kebutuhan seluruh umat manusia.
Saya mengatakan bahwa saya punya kegelisahan dengan masalah banyaknya sampah sisa makanan justru lebih kepada khawatir akan permasalahan sampah yang membludak di kota, di mana justru sense yang terbangun seharusnya lahir dari akar masalah bahwa proses pembuatan makanan itu panjang dan tidak seharusnya kebutuhan primer ini disia-siakan. Poin kedua saya katakan dan saya amini setiap saya terlibat dalam diskusi dengan kawan-kawan yang memiliki kepedulian di bidang pangan, namun lagi-lagi saya harus katakan bahwa saya sejujurnya tidak paham bagaimana sebenarnya ‘proses produksi makanan yang panjang’ itu. Saya tidak benar-benar mengenal langsung hingga saya merasakannya sendiri. Tak kenal maka tak sayang benar-benar saya resapi maknanya di detik ini.
Alam itu cerminan kehidupan manusia
Ini yang sangat mahal. Belajar dari alam yang saya kenal dulu sempit sekali. Mempelajari tingkah laku dan pertumbuhan makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan hanya sebagai sebuah hafalan tidak bermakna. Sesekali menjadi wawasan untuk bekal pemanfaatannya dalam kehidupan manusia. Namun rupanya ada pelajaran dan makna yang sangat berharga dari alam. Bagaimana Sang Pencipta mendesain pertumbuhan sebuah tanaman, cara hidup masing-masing jenis hewan, semuanya adalah refleksi dari kehidupan manusia yang patut diambil pelajaran. Sebagai contoh adalah bagaimana seekor elang hidup dalam tulisan saya di sini. Dan bagaimana memahami etos kerja yang paling unggul dari seekor lebah. Bahkan dari melihat proses pertumbuhan semua makhluk ciptaan-Nya, kita akan tersadar bahwa segala sesuatu itu perlu proses dan yang instan bukan sesuatu yang sehat, baik secara fisik maupun psikologis.

Sebuah tanaman yang berasal dari benih akan menjadi tunas, lalu diletakkanlah ia di dalam pot kecil. Tanaman itu diberikan nutrisi yang sama dengan kondisi lingkungan yang sama di dalam sebuah pot. Namun pada saatnya, ia tumbuh besar dan semakin besar. Jika tidak dipindahkan, ia akan mati. Kalaupun ia bisa tetap tumbuh di dalam pot tersebut, namun terbatas. Terbatas dari segi pertumbuhan, maupun manfaatnya. Namun lain ceritanya ketika tanaman tersebut kita pindahkan ke tanah yang baik, ke lahan baru yang lebih luas, tumbuhnya akan semakin besar dan manfaatnya akan semakin banyak. Jangan kaget ketika di awal perpindahan, tanaman tersebut akan tumbuh merana terlebih dahulu. Namun setelah itu, ia akan menjadi besar dan bisa berkembang memberikan manfaat yang jauh lebih besar. Seperti halnya manusia. Sudah kodratnya untuk dilepaskan dari zona nyamannya, kampung halamannya, lingkungan di mana ia dimanja, untuk menjadi orang yang besar. Meskipun di awal perpindahannya akan sakit rasanya, namun itu sudah menjadi fitrah dan hal yang biasa. Seperti seekor elang yang harus melewati fase sakit luar biasa untuk menjadi hewan yang kuat.

Saya belum lama keluar dari pot itu. Namun tidak ada kata terlambat. Meskipun begitu, tunas muda itu akan lebih besar manfaatnya ketika dikeluarkan di saat muda. Pendidikan yang dekat dengan alam itu harus dimulai dari sedini mungkin. Di situlah peran besar orang tua. Seperti sebuah induk tanaman yang melepas bagian tunas mudanya agar bisa berdiri sendiri dan tumbuh besar.
Manusia itu sudah kodratnya didekatkan dengan alamnya. Semakin kenal dirinya dengan apa yang diciptakan-Nya, maka akan semakin kenal pula dirinya pada penciptanya.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Empati Adalah Imunitas?

Lagi-lagi saya menemukan korelasi yang keren antara hati dan tubuh kita!

Pernahkan ketika kita sedang sibuk melakukan banyak hal rasanya seperti sehat selalu? Bahkan orang tua saya di rumah pun sampai bingung dan beberapa kali khawatir dengan kesehatan saya si anak bungsu ini. Awalnya saya pikir itu adalah efek dari pengalihan pikiran sehingga badan pun tidak terasa "sinyal-sinyal" capeknya. Maka biasanya baru terasa lelahnya atau ambruk ketika pekerjaan sudah selesai dan dalam masa rehat. 

Namun ada kalanya beberapa jenis aktifitas positif yang meskipun capeknya bukan main, tetapi badan saya baik-baik saja tuh setelah aktifitas tersebut usai. Yang saya dapatkan justru energi yang lebih meledak-ledak. Hehehe. 

Ada hal menarik yang lagi-lagi saya temukan dari temuan Gobind Vashdevh dalam buku Hapiness Inside

Korelasi empati dan imunitas tubuh

Gobind memberikan contoh seorang mendiang tokoh tersohor di dunia, Bunda Theresa. Seorang perempuan peraih nobel perdamaian karena perjuangannya bersama kaum papa. Bagaimana beliau dan rekan-rekannya bisa kebal dari penularan penyakit kusta selama begitu lamanya bersentuhan dengan pengidap penyakit menular ini? Kemudian saya jadi mengingat bagaimana para relawan-relawan selama ini baik-baik saja dalam misi menolong korban, baik dari penyakit menular, bencana, atau di permukiman kumuh yang katanya menjadi sumber penyakit? Kondisi terjepit tersebut mengakibatkan para relawan tidak sempat mengonsumsi makanan dan istirahat teratur. Secara nalar, hal ini sangat tidak mungkin.

Informasi setelahnya sangat mencengangkan dan membuat saya merinding.
Seorang psikolog dari Harvard, David McClelland dan Carol Kirshnit telah melakukan penelitian tentang hubungan antara empati dan kekebalan tubuh, melalui pengecekan air liur penonton film-film yang mengundang empati. Hasilnya luar biasa. Peningkatan empati berkorelasi positif terhadap kenaikan tingkat Immunoglobulin A (IgA).
Saya lagi-lagi harus katakan bahwa saya merinding dibuatnya. Saya sebarkan ke beberapa teman terdekat mengenai informasi luar biasa ini. Bahwa betapa hebatnya tubuh kita merespon kebaikan, empati, dan nilai berbagi kepada sekitar kita. Terjawab sudah pertanyaan saya. Itulah mengapa pemimpin-pemimpin hebat di negeri kita ini seperti tidak ada lelahnya, dan orang-orang mulia di sekitar kita seperti tidak pernah habis energinya. Karena mereka benar-benar berempati untuk sesama. :)



Kamis, 09 Januari 2014

Kisah Sang Kakek dan Cucunya

Setelah beradu dengan waktu dan berhasil menemui dosen pembimbing saya untuk meminta tanda tangan, saya putuskan untuk berbincang sejenak dengan beberapa kawan seperjuangan saya. Langit sebenarnya sudah mendung. Dan benar saja, langit menguras diri dan menurunkan air berton-ton jumlahnya dan berhasil menyurutkan niat dan menahan saya untuk pulang.

Perbincangan tentang hidup. Memaknai hal-hal kecil. Lalu ada sebuah kisah sederhana yang dilontarkan salah seorang teman saya tentang shalat, ibadah wajib bagi seorang muslim. Lagi-lagi saya tuliskan sebagai pengingat untuk diri sendiri. Begini ceritanya.

 .....

Alkisah di sebuah desa, seorang anak laki-laki tinggal dengan seorang kakeknya. Kakek ini terkenal akan pribadinya yang shaleh dan tidak pernah meninggalkan shalatnya. Tidak lupa sang kakek selalu mengingatkan cucunya untuk selalu menunaikan ibadah ini setiap saat, dalam 5 waktu. Sang cucu selalu mengikuti perintah kakeknya hingga suatu hari sang cucu mungkin mulai merasa bosan dengan rutinitas tersebut. Ia tidak merasakan manfaat yang berarti atas pengulangan ritual 5 kali sehari yang kata sang kakek sebagai bentuk ibadah kepada Yang Maha Kuasa.

Ketika sampai di titik kejenuhannya, sang cucu bertanya pada sang kakek, untuk apa ia harus melaksanakan shalat sementara ia tidak merasakan perubahan apa-apa? Sang kakek tidak langsung menjawab. Ia ambil sebuah ember yang kotor akan tanah dan berlubang. Ia minta cucunya untuk mengambil air di sungai untuk mengisi penuh bak air di rumah. 

Dengan masih diliputi perasaan heran, perlahan sang cucu ikuti permintaan kakeknya. Ia harus melalui jalan turunan dan tanjakan untuk menuju sungai. Setiap ia mengambil seember penuh air, ia tetap harus melewati perjalanan yang cukup jauh. Setiap sampai di rumah, air di embernya tersisa sedikit. Air yang ia ambil perlahan-lahan keluar dari lubang selama perjalanannya. Beberapa kali si cucu bolak-balik, namun air yang berhasil dibawanya tidak seberapa. 

Sampai di titik jenuh dan kesalnya, ia menghampiri si kakek dan menanyakan untuk apa si kakek memintanya melakukan hal yang sia-sia itu? Mengapa harus mengambil air dengan ember yang kotor bahkan berlubang? Sambil menunjuk bak air yang tidak kunjung penuh dan air yang diambil menjadi kotor akibat tanah yang menempel dari ember, ia mempertanyakan permintaan yang dianggapnya aneh itu.

Lalu sang kakek memanggil cucunya dan memintanya untuk memperhatikan ember kotor dan berlubang yang ia bawa. Ia menanyakan ke cucunya, apa yang anak itu lihat di ember sebelumnya dan apa yang berbeda setelah ia bolak-balik mengambil air. Rupanya ember berlubang yang tadinya kotor sekali oleh tanah tersebut menjadi bersih sekali. 

Mungkin kita terlalu terfokus pada hasil yang kita harapkan dalam usaha kita, dalam hal ini adalah memenuhi isi bak air. Namun tanpa kita sadari, ada hal lain yang kita dapatkan atas usaha dan sesuatu yang kita tekuni. Usaha kita untuk berulang kali mengambil air rupanya tanpa kita sadari membersihkan si ember itu sendiri.

Hati

Tanpa kita sadari, di luar ekspektasi yang kita harapkan, dengan secara konsisten beribadah dan berkomunikasi dengan Yang di Atas akan dengan perlahan membersihkan hati kita. Maka "air" yang kita ambil dengan "ember" yang perlahan menjadi bersih menyebabkan si air yang dikumpulkan olehnya juga semakin bersih dan dapat dimanfaatkan.

Selamat menimba air dengan embermu!

:)

Selasa, 07 Januari 2014

Upah, Kerja, dan Berkah

Sudah hampir satu semester lamanya saya tidak mendengarkan siraman rohani dari salah seorang teman sekaligus guru bagi saya, Rahmi Khoerunisa. Siang tadi saya, Yufie, dan Ami duduk bertiga di pelataran Masjid Salman untuk berbagi, saling memberi angin segar untuk kebutuhan rohani. 

Kami berdiskusi banyak hal. Saya dan Yufie cenderung menjadi pendengar atas lontaran ayat dan kisah dari Ami yang menenangkan hati. Alhamdulillah Allah mengirimkan teman saya yang satu ini untuk menjadi teman berbagi tentang ilmu-Nya. Saya tuliskan kembali sebagian yang saya dapatkan, untuk menjadi pengingat diri sendiri.

Salah satu kisah di bawah ini cukup menjadi bekal pengingat kami yang akan memulai fase baru, mengakhiri sekolah formal dan mulai menghidupi diri sendiri.

Seseorang datang kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Namun anehnya, Imam Syafi’i justru menyuruh dia untuk
menyedekahkan 1 dirham dari gajinya, sehingga ia hanya dapat menggunakan 4 dirham untuk keperluannya. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya untuk kembali menyedekahkan 2 dirham dari gajinya, sehingga ia hanya dapat menggunakan 3 dirham untuk hidupnya. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan perasaan sangat heran.

Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi’i dan berterima kasih atas nasehatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercambur dengannya.

Sebenarnya poin utamanya adalah bukan besar kecilnya atas apa yang kita dapatkan, tetapi apakah itu memang menjadi hak atas apa yang kita kerjakan. Realistis dengan keperluan hidup sehari-harinya? Oh ya tetap perlu. Tetapi percayalah kalau manusia dibekali ilmu untuk mengatur keperluan hidupnya sebijaksana mungkin.

Di samping hitung-hitungan pemasukan-pengeluaran tersebut, jangan lupa untuk selalu merefleksikan nilai berkah atas apa yang kita kerjakan dan dapatkan.

Ketika kita merasa berkecukupan atas apa yang kita terima,
ketika kita dimudahkan atas setiap proses dan perjalanan kita,
dan ketika pribadi kita menjadi lebih baik, lebih dekat dengan Yang di Atas

InsyaAllah apa yang kita kerjakan memang berkah. 
Maka tetaplah berprasangka baik dengan skenario ke depannya. 

.....

"Kemampuan manusia memang terbatas, tetapi pertolongan Allah tidak terbatas"

Kalimat di atas mengakhiri bincang-bincang penyejuk hati kami. Pas sekali diucapkan ketika pada fase saya saat ini. Tetap yakin, berprasangka baik, dan semangat bekerja keras untuk apapun yang sedang dikerjakan di depan mata! :)

Selamat memulai tahun 2014!

Rabu, 18 Desember 2013

Refleksi Tahun 2013 : Main di Kandang?


Ya, tahun ini saya tidak menghasilkan banyak tulisan. Bahkan terhitung hingga saat ini, hanya hampir sepertiga dari hasil tulisan saya tahun lalu. Saya ingat kembali kalau tahun ini tidak banyak saya habiskan untuk bermain dan bertualang ke tempat-tempat baru, mengikuti berbagai macam kegiatan di luar seperti tahun-tahun sebelumnya.

Karena tugas akhir?

Hahaha. Tidak juga. Sebuah keputusan mengejutkan yang saya buat membuat saya harus mengundur waktu kelulusan saya hinggal April 2014 nanti (aamiin). Dengan minimnya pengembaraan saya ke tempat-tempat baru tahun ini, saya tidak katakan kalau saya tidak belajar banyak. Keputusan besar untuk berkomitmen dan mengabdikan diri di lingkungan yang sama, tidak terlalu besar, bahkan mengurus kebutuhan dasar manusia-manusia dalam lingkup tertentu ini sama sekali tidak terpikir dalam rencana hidup saya. Tapi saya belajar banyak. Banyak sekali. Dan hingga saat ini saya masih tidak bisa berhenti mensyukuri skenario dan 'ramuan' lingkungan yang Tuhan berikan untuk menjadi wadah belajar dan berkembang untuk saya.

Keputusan untuk mengurus kandang sendiri

Yang saya kerjakan saat ini di kampus menuntut saya untuk dapat berkomunikasi dengan berbagai jenis pihak. Bahkan bukan hanya berkomunikasi, namun saya harus mampu 'mengadvokasi' sebuah hal yang saya anggap benar ke beberapa pihak berbeda. Ini adalah hal baru untuk saya. Sejujurnya saya sempat takut menerima amanah ini di awal. Ini bukan keahlian saya dan bidang yang sudah sering saya geluti selama ini. Saya tidak kenal banyak pihak di lingkungan ini. Namun atas dasar kepercayaan dan niat bahwa sudah saatnya saya memberikan sesuatu ke lingkungan yang akan saya tinggali ini di tahun depan, saya terima amanah ini.

Berbuat baik itu sederhana

Dulu saya banyak terpaku dengan membuat karya dan memikirkan hal-hal besar yang seakan-akan untuk kepentingan orang banyak. Namun rupanya lingkungan terdekat yang selama ini saya anggap semuanya baik-baik saja, tidak semanis dan seberuntung penampakannya. Lagi-lagi saya teringat perkataan Pak Anies Baswedan yang menganalogikan kampus sebagai kolam renang, tempat berlatih sekeras mungkin sebelum terjun ke samudera. Kolam renang, sebagai sesuatu yang terukur. Ya, kami benar-benar sedang berlatih keras untuk berenang di dalamnya sekarang. Dan hey, kampus saya ini rupanya berisikan ikan dan tetumbu karang yang sewarna-warni itu! Lalu lagi-lagi saya merasa beruntung bisa 'berenang' lebih dalam, berlatih, dan mengenal isinya.

Saya selalu tersenyum mendengar komentar Wakil Rektor saya, Pak Kadarsyah, ketika beliau mengingatkan berulang kali pada saya. "Kamu sedang belajar menjadi public leader, setiap keputusan yang diambil harus untuk kepentingan orang banyak". Dan benar sekali. Baru kali ini saya merasakan efek secara langsung atas setiap keputusan dan kegagalan yang saya dan teman-teman ambil. Nasib keberlangsungan hidup di kampus dan kesejahteraan sekian banyak anak ada di tangan kami. 

Memberikan penghargaan pada diri sendiri itu sederhana

Mengetahui bahwa hal kecil yang kamu kerjakan itu sangat membantu, lalu membuat orang lain tersenyum, sudah membuat kesenangan yang tidak ternilai. 

Menemukan bahwa kita adalah orang yang masih jauh lebih beruntung, membuat malu diri sendiri dan menambah rasa syukur.

Lalu untuk tim kerja saya yang luar biasa, kebahagiaan itu juga dibentuk dengan sederhana. Melihat kedekatan tim dan keikhlasan bekerja yang terbaik untuk kepentingan orang lain, saya senang bukan main. Ini adalah energi terbesar yang pernah saya dapatkan dari lingkungan bekerja saya. Energi yang ditularkan antar manusia itu benar adanya.

Perasaan marah, meledak-ledak, menangis, tertawa, hingga senyuman puas sudah sempat saya cicipi. Manusia itu luar biasa beruntung karena mendapatkan anugerah untuk mengekpresikan apa yang ada di hatinya. Sejujurnya, ini seru sekali! :) Semakin digeluti, semakin sadar bahwa saya masih harus banyak belajar! Bahwa berhubungan dengan manusia hingga menginvestasi sebuah hal besar seperti mimpi ke dalamnya gampang-gampang susah. Kalau kata partner saya, harus belajar nrimo. Ya, dengan belajar menerima semua perbedaan orang lain terutama pihak-pihak yang berhubungan dengan hal yang kita kerjakan, semuanya terasa lebih mudah.

Ke depannya akan ada ratusan bahkan, ribuan, bahkan jutaan jenis manusia yang akan saya temui dan geluti di luar sana. Saya sangat bersemangat! Terima kasih untuk semua skenario dan 'ramuan' lingkungan sosial untuk tempatku belajar ini :)

Minggu, 11 Agustus 2013

Benang Kusut

Saya punya gulungan benang. 

Mau dijadikan apa ya? Baju? Syal? Ah baiklah mari saya tulis dulu. Wah, ada tumpukan ide rupanya. Seharusnya gulungan ini akan jadi banyak hal besar nantinya. 


Mau mulai menjahit, tapi si benang rupanya tidak kooperatif. Untaian benang yang tidak tersambung sama sekali pun bisa jadi saling menempel satu sama lain. Menyerah, lalu mencoba "menutupi" kepusingan dengan memilih menggunakan benang lain yang cenderung tergulung dengan rapi. Mudah, tidak bercelah. 

Tapi toh si benang kucut ini masih ada, menunggu untuk diurusi. Ah, bukannya si benang tidak kooperatif. Mana mungkin ia meluruskan dirinya sendiri. Si empunya yang seharusnya bertanggung jawab.

Baiklah, itu cuma benang dan itu milikmu sendiri. Saya jamin seratus persen pasti akan kau temukan ujung sama ujungnya. Telaah lebih dalam, maka kau akan dapatkan untaian benang panjang, lalu mari jahit seperti yang kau mau. Mungkin ada titik di mana harus kau gunting, dibuat jadi beberapa bagian yang memudahkanmu, atau kau buang sisi kusut itu. Itu pilihanmu. Hanya kau yang bisa kerjakan itu. Sendiri.

Otak kadang rasanya seperti benang kusut. Seakan-akan segala hal menjadi penting, timbunan hal yang harus dikerjakan, mimpi besar, ide yang tidak pernah habis, tuntutan, kebutuhan, belum lagi dari soal kewajiban hingga ego pribadi. 

Tuhan menciptakan manusia dengan nikmat sabar. Dan sabar itu lahirnya dari hati yang ikhlas. 

Hati, tolong bantu otak mengurai benang kusutnya, ya? Kalau tidak, tumpukan ide untuk menyulap si benang menjadi hal-hal besar cuma jadi angan-angan.

Mau tidak?

Ya, saya mau. 

Minggu, 04 Agustus 2013

Cerita Beberes Rumah : Inspirasi Dari Setumpuk Undangan Bekas

Hore! Sudah memasuki masa libur Lebaran!

Bicara soal hari libur, bisa dikatakan hampir setiap libur akhir pekan, waktu kedua orang tua saya habis untuk menghadiri berbagai acara pernikahan. Bahkan terkadang saling bentrok satu sama lain. Pilihannya bisa dengan menghadiri keduanya secara bergantian atau dihadapkan pada pilihan untuk menghadiri salah satu yang dianggap lebih diprioritaskan untuk dihadiri. Saya tidak bilang yang lainnya tidak penting, tapi bisa diukur dari kedekatan hubungan hingga jarak tempuh menuju gedung resepsi pernikahan. 

Kalau sudah di rumah dan ibu saya pun sudah memasuki masa cuti, pasti ada satu agenda yang tidak pernah absen (selagi tidak ada acara lain di luar), yaitu adalah beberes rumah!

Oh baiklah, rupanya ada satu kardus berisi barang antah berantah di sudut dekat piano. (Mulai sisingkan lengan)

Kami berdua sama-sama mengambil posisi untuk memilih dan memilah isi kardus itu. Dan ini dia! Sebagian besar isinya adalah bertumpuk-tumpuk undangan resepsi pernikahan. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, bahwa kedua orang tua saya "hobi"nya setiap akhir pekan menghadiri undangan-undangan ini. Kami mengambil satu kardus yang ukurannya lebih kecil untuk memisahkannya.

Kami terbiasa untuk memanfaatkan bekas barang yang tampak potensial untuk dibuat sesuatu. Paling sederhana yang biasa ibu saya lakukan adalah memotong motif-motif yang biasa ada di sisi tertentu lembar undangan, lalu dimanfaatkan sebagai pembatas buku. Namun kami kesulitan menemukan ide untuk memanfaatkan bentuk undangan dengan kertas-kertas tebalnya menyerupai tripleks, dari yang sederhana sampai yang "wah". Dari yang hanya menggunakan bahan dasar kertas hingga kain beludru.


Salah satu contoh undangan berbahan tebal. Yang seperti ini hanya berakhir di tempat sampah

Contoh potongan lembar undangan untuk dijadikan pembatas buku

Melihat bekas-bekas undangan ini sambil memasukannya ke kardus membuat saya banyak berpikir akan dikemanakan sampah-sampah ini. Sebenarnya jika dicari pasti ada beberapa oknum pengusaha yang mulai memanfaatkan sampah-sampah sisa undangan ini. Namun banyaknya saya rasa tidak berbanding lurus dengan jumlah resepsi pernikahan yang berlangsung di dalam sebuah kota.

Tumpukan undangan yang siap disisihkan

Mungkin belum menjadi sebuah pertimbangan utama dalam mendesain sebuah kemasan (saya katakan ini sebagai sebuah kemasan, penampilan luar), mengenai bagaimana keberlanjutan bahan yang digunakan itu akan berakhir. Dalam hal ini adalah sebuah desain undangan, yang saya rasa tidak semuanya dapat terolah dengan mudah. Mungkin lain ceritanya jika infrastruktur pengelolaan sampah di negara kita ini sudah benar-benar mumpuni dan masyarakatnya siap dengan sistem yang diberlakukan, sehingga sampah bukan lagi menjadi tumpukan masalah. 

Saya jadi teringat bentuk undangan pernikahan kakak perempuan saya tahun lalu. Kami sekeluarga sepakat untuk menggunakan lembaran cenderung tipis, tidak mengkilat, dengan desain sederhana namun tetap ada detil yang menjadi keinginan calon mempelai laki-laki dan perempuan. Tanggapannya macam-macam rupanya. Sebagian besar mungkin bertanya-tanya mengapa penggunaan bahan undangannya begitu sederhana?

Kemasan itu penting. Sebagian besar orang menilai niat dan besar/tidaknya acara itu dari tampilan awal, yaitu sebuah undangan. Tetapi mungkin kita dipaksa untuk berpikir lebih kreatif lagi dalam mendesain sesuatu, melihatnya dari berbagai aspek, yaitu : ekonomi, lingkungan, dan estetika.


Hahaha. Bicara soal temuan dari beberes rumah pikiran saya jadi ke mana-mana. Saya pribadi memutar otak sambil memilah tumpukan undangan ini. Akhirnya saya memisahkan sebuah potongan kain hijau dari hiasan ikat sebuah undangan dan selembar amplop undangan untuk saya "jodohkan" dengan buku agenda saya :) Hore!


Potongan kain ditemukan dalam keadaan lecek. Disetrika terlebih dulu supaya rapi dan mudah digunakan :)

Memanfaatkan potongan lembar undangan yang polos

Kain yang sudah disetrika dipotong-potong sesuai ukuran buku

Voila! Jadilah buku agenda saya bersampul kain ini. Warnanya pas dengan pita pembatas bukunya!

Bagian dalam agenda, seperti biasa sama seperti tahun 2012 lalu

Sisi dalam bagian belakang, untuk menyelipkan kertas-kertas kecil

Berpikir panjang sebelum mendesain sesuatu, supaya ujung-ujungnya tidak hanya jadi tumpukan sampah tidak berarti. Kalau sudah terlanjut ada, yuk putar otak dan manfaatkan sisa-sisa barang yang ada.

Minggu, 21 Juli 2013

Debar-Debar di Angkot

Mungkin agaknya cukup berlebihan kalau saya katakan bahwa jantung saya selalu berdebar-debar di kala detik-detik angkot yang saya naiki akan melewati tempat saya berhenti.

Siap-siap. Yak... sebentar lagi... (sambil sibuk merogoh-rogoh uang kecil di saku) 

"Kiri!" teriak saya dari kursi penumpang.

Seribu lima ratus atau dua ribu ya? 

Akhirnya saya putuskan cari aman. Saya ambil lembaran dua ribuan dan saya berikan ke Mang angkot melalui si jendela tanpa kaca. Saya perhatikan lekat-lekat. Kemudian keping lima ratus rupiah berpindah tangan ke tangan saya.

Alhamdulillah, masih seribu lima ratus!

Di lain waktu, dengan sopir yang berbeda dan/atau jurusan angkot berbeda, si sopir bisa dengan ketus memandang remeh lembaran uang yang saya berikan dan menagih paksa, "Seribu lagi, Neng!"

Aah.. Naiknya sampai dua kali lipat?! Pikir saya sambil menahan kesal di dalam hati.


Fenomena ini pasti dirasakan semua pengguna angkot. Secara luasnya adalah untuk semua bentuk angkutan umum dengan tarif yang tidak pasti. Dalam hal ini saya bicara angkot, sebagai moda transportasi yang sehari-hari paling sering saya gunakan. Perasaan berdebar-debar ini pun saya rasakan manakala saya gunakan angkot ke jurusan yang tidak pernah saya lewati maupun di kota yang tidak pernah saya tinggali. 

Belajar dari pengalaman

Prinsip saya hanya itu. Dari beberapa kali menaiki sebuah angkot jurusan tertentu, saya akan semakin paham kisaran tarifnya.

Kenaikan tarif yang tidak diprediksi

Semenjak peristiwa kenaikan BBM, perasaan berdebar-debar ini semakin menjadi-jadi. Beberapa angkot menaikan tarif dengan cukup realistis, namun ada pula yang saya nilai cukup berlebihan dan membuat si sopir angkot harus bersitegang dengan beberapa penumpangnya. Saya pilih tidak cari masalah, saya ikuti saya permintaan si Mang angkot.

Ya.. hitung-hitung nambah penghasilan si sopir.

Bukan, bukan soal ketidakikhlasan saya merogoh tambahan seribu bahkan dua ribu perak untuk ongkos sehari-hari. Namun ketidakpastian tarif ini untuk semua angkutan umum di Indonesia saya rasa menjadi sebuah ketidaknyamanan yang cukup krusial untuk bepergian ke manapun, juga sangat tidak ramah bagi orang-orang baru.

Semoga kelak seluruh sopir angkutan umum di Indonesia mendapat nominal penghasilan tetap yang layak dan seluruh angkutan umumnya memiliki tarif yang pasti! Aamiin!

Positifnya, jantung saya terlatih dengan setiap rasa deg-degan sebelum membayar ongkos angkutan. Hahaha..

Minggu, 16 Juni 2013

Pendidikan Anak Nusantara


Ceritanya saat ini saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memperpanjang waktu abdi saya di kampus. Bidang saya saat ini menerjunkan saya untuk menyelami hal yang sebelumnya hanya saya dengar dan amati ceritanya dari orang-orang di sekeliling saya, yang mana mereka adalah sekelompok pemerhati dan aktivis pendidikan. Saya hanya sebagai pendengar. Tapi saat ini saya bisa berceloteh sendiri, atas apa yang saya lihat dan saya rasakan.

Pendidikan

Wawasan nusantara

Atas sebuah usulan program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), sekitar 500an putra-putri Papua dikirimkan untuk belajar di 31 universitas tersebar di Indonesia. Direktorat jenderal pendidikan tinggi (Dikti) sebagai eksekutor menyerahkan kepercayaannya pada Pemda setempat untuk melakukan proses seleksi. Kuota yang diberikan sejumlah 1000 kursi, namun pendaftar hanya berkisar 700 anak. Alhasil seluruh pendaftar diterima. Namun hanya yang mendaftar ulang yang tetap melangsungkan proses ini. 

Berawal dari perkenalan saya dengan salah seorang putra daerah asal Yalimo, Papua. Namanya Mewan. Yalimo kedengarannya sangat asing di telinga saya. Rupanya untuk mencapai kampungnya, selain menaiki pesawat Jakarta-Jayapura-Wamena dan mobil,  Mewan masih harus berjalan kaki 1 hari untuk sampai ke rumahnya! Mewan adalah salah satu dari kawan-kawan Papua yang mulai tahun 2012 lalu mengecap pendidikan tinggi di kampus ITB.

Kampus saya menerima 11 putra Papua dari daerah berbeda-beda untuk jurusan sipil, elektro, dan mesin. Namun hingga saat ini hanya 6 anak yang bertahan dan masih terjaga komunikasi dan komitmennya. Ketiga jurusan tersebut dipilihkan oleh Pemda Papua dengan harapan dapat menjadi bekal untuk kembali dan membangun kampung halamannya. Anak-anak ini diterjunkan dalam kurikulum Tahap Persiapan Bersama, tanpa perlakuan khusus, kecuali pendampingan tutor dari beberapa mahasiswa yang sifatnya sukarela. 

Materi kuliah tahun pertama yang sama sekali tidak mudah, perbedaan kultur, dan kondisi lingkungan yang jauh berbeda tentu menjadi hal yang asing bagi mereka. Maka tidak perlu heran ketika indeks prestasinya nyaris 0, jika tidak terbantu oleh mata kuliah olahraga. Baik secara akademik maupun psikologis, mereka belum siap dan tidak disiapkan.

Mereka hanyalah segelintir anak dari ribuan, bahkan jutaan kawan kita yang tidak mengecap pendidikan formal berkualitas di kota. Saya semakin miris dibuatnya ketika saya berkesempatan mengunjungi Surya Institute, sekolah di bilangan Serpong dengan program khusus hasil kerjasama dengan Pemda Papua. Tidak jarang ditemukan anak-anak seumuran dengan saya namun tidak mengenal huruf, angka, mengenal angka hanya 1-4, bahkan turus!

Sedikit gambaran mengenai kondisi pendidikan masyarakat Papua, di mana tingkat buta huruf masyarakat masih mencapai 39,23% (BPS,2012). Sedangkan untuk angka partisipasi sekolah pada tingkat perguruan tinggi masih sangat minim, 13,92% untuk Provinsi Papua dan 19,31  untuk Provinsi Papua Barat. Secara keseluruhan, hanya 13,54% masyarakat Indonesia yang mengecap pendidikan hingga level perguruan tinggi. Hal ini pun terdesentralisasi di wilayah perkotaan, khususnya Pulau Jawa. Saya baru bicara 1 daerah. Dan masih banyak belasan ribu pulau, 300 suku, puluhan juta penduduk yang jadi tanda tanya besar soal pendidikannya.

“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.” 

Di sini kecintaan saya pada bangsa ini diuji. Peta Indonesia yang terpampang di tembok kamar sebagai dorongan cita-cita mengelilingi tanah air dan ilmu yang diserap dalam rangka mengenali bangsa ternyata masih jauh dari maknanya.

Terima kasih, ya Allah karena telah memberikan kejutan, jalan untuk berbagai petualangan seru di hidup saya untuk kembali mengingat makna syukur.


Kamis, 10 Januari 2013

Cinta Pekerjaan dan Bekerja dengan Cinta

Sore tadi saya baru saja berdiskusi dengan salah seorang pegawai negeri. Meskipun sampai 2 jam lamanya beliau semangat bercerita, wajahnya tidak dapat menyembunyikan kelelahan dan beban pikirannya.

Tanya ayah saya ketika saya sampai di rumah, "Gimana tadi ngobrolnya?"
Yang saya lontarkan pertama kali, "Mukanya kelihatan capek banget deh, Pa. Kelihatan lebih tua dari papa. Hehe."
Jawab ayah saya singkat,  "Ya, mungkin kurang dinikmati pekerjaannya"

Dan tepat juga sekitar 2 minggu yang lalu, di tengah-tengah obrolan tentang masa depan, ayah saya ini berpesan, "Intinya, kalau kamu kerja dibawa stres, nanti jadi penyakit. Nah kalau sakit, yang rugi diri sendiri. Jadi, pekerjaan itu untuk dinikmati".

Nah, minggu lalu teman saya memberikan salah satu puisi Khalil Gibran dari buku Sang Nabi. Hingga saat ini masih terekam kuat di kepala saya, terlebih setelah mendengar komentar kecil dari ayah saya tadi sore. Semoga bisa menjadi suntikan energi untuk saya di kala "kehilangan" energi. Saya kutip di sini, supaya selalu menjadi pengingat.


Tentang Kerja

Seorang peladang datang bertanya:
Berilah penjelasan pada kami soal kerja.

Maka demikianlah bunyi jawabnya:
Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini.
Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim.
Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri.
Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa.

Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu.
Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama?

Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan.
Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi.
Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma.
Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan.
Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam.

Namun pabila dalam derita kausebut kelahiran sebagai siksa, dan pencarian nafkah sebuah kutukan yang tercoreng di kening,
Maka aku berkata bahwa tiada lain dari cucuran keringat jua, yang dapat membasuh suratan nasib manusia.

Selama ini kaudengar orang berkata pula, bahwa hidup adalah kegelapan, dan dalam keletihanmu kautirukan kata-kata mereka yang lelah.
Namun aku berkata bahwa hidup memang kegelapan, kecuali jika ada dorongan.
Dan semua dorongan buta belaka, kecuali jika ada pengetahuan.
Dan segala pengetahuan adalah hampa, kecuali jika ada pekerjaan.
Dan segenap pekerjaan adalah sia-sia, kecuali jika ada kecintaan.

Jikalau kau bekerja dengan rasa cinta, engkau menyatukan dirimu dengan dirimu
Kausatukan dirimu dengan orang lain, dan sebaliknya, serta kaudekatkan dirimu kepada Tuhan.

Dan apakah yang dinamakan bekerja dengan rasa cinta?
Laksana menenun kain dengan benang yag ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmulah yang akan mengenakan kain itu.
Bagai membangun rumah dengan penuh kesayangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan mendiaminya di masa depan.

Seperti menyebar benih dengan kemesraan, dan memungut panen dengan kegirangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan makan buahnya kemudian.

Paterikan corakmu pada semua benda, dengan nafas dari semangatmu pribadi.
Ketahuilah bahwa semua roh suci sedang berdiri mengelilingimu, memperhatikan dan mengawasi serta memberi restu.

Seringkali kudengar engkau berkata-kata, laksana menggumam dalam mimpi,
"Dia yang bekerja dengan bahan pualam, dan menemukan di dalamnya bentuk jiwanya sendiri lebih tinggi martabatnya daripada dia si pembajak sawah".
"Dan dia yang menangkap pelangi di langit untuk dilukis warnanya, menyerupai citra manusia di atas kain, derajatnya lebih mulia dari dia si pembuat sandal kita".

Namun aku berkata tidak di dalam tidur melainkan di kala jaga sepenuhnya, ketika matahari tinggi.
Bahwa angin berbisik tidak lebih mesra di pohon jati raksasa daripada di rerumputan yang paling kecil dan tanpa arti.
Dan hanya dialah sungguh besar, yang menggubah suara angin, menjadi sebuah simponi yang makin agung karena kasih-sayangnya.

Kerja adalah cinta yang mengejawantah.
Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya.
Lalu mengambil tempat di depan gapura kuil, meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan sukacita.

Sebab bila kau memasak roti dengan rasa tertekan, maka pahitlah jadinya dan setengah mengenyangkan.
Bilamana kau menggerutu ketika memeras anggur, gerutu itu meracuni air anggur.

Dan walaupun kau menyanyi dengan suara bidadari, namun hatimu tiada menyukainya.
Maka tertutuplah telinga manusia dari segala bunyi-bunyian siang dan suara malam hari

Angkat topi setinggi-tingginya untuk semua orang yang mengerjakan pekerjaan yang dicintai dan dikerjakannya dengan sepenuh hati. 

Cari pekerjaan yang kamu cintai.
Cintai pekerjaan itu dengan sepenuh hati.
Semangat bekerja! :)

Minggu, 04 November 2012

Doa


"Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakinya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." 
(Ayat Seribu Dinar)


"Ya Allah bahwasanya waktu dhuha itu waktu dhuha-Mu, kecantikan itu kecantikan-Mu, keindahan itu keindahan-Mu, kekuatan itu kekuatan-Mu, kekuasaan itu kekuasaan-Mu dan perlindungan itu perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rizkiku masih di atas langit. turunkanlah. Jika ada di dalam bumi, keluarkanlah. Jika sukar, mudahkanlah. Jika haram, sucikanlah. Jika masih jauh, dekatkanlah. Berkat waktu dhuha, keagungan, keindhan, kekuatan, kekuasaan dan perlindungan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh" 
(Doa shalat sunnah Dhuha)

Aamiin. 

Konsisten. Sabar. Semua akan indah pada waktunya. 

Goodluck, everyone! ;)