Mungkin agaknya cukup berlebihan kalau saya katakan bahwa jantung saya selalu berdebar-debar di kala detik-detik angkot yang saya naiki akan melewati tempat saya berhenti.
Siap-siap. Yak... sebentar lagi... (sambil sibuk merogoh-rogoh uang kecil di saku)
"Kiri!" teriak saya dari kursi penumpang.
Seribu lima ratus atau dua ribu ya?
Akhirnya saya putuskan cari aman. Saya ambil lembaran dua ribuan dan saya berikan ke Mang angkot melalui si jendela tanpa kaca. Saya perhatikan lekat-lekat. Kemudian keping lima ratus rupiah berpindah tangan ke tangan saya.
Alhamdulillah, masih seribu lima ratus!
Di lain waktu, dengan sopir yang berbeda dan/atau jurusan angkot berbeda, si sopir bisa dengan ketus memandang remeh lembaran uang yang saya berikan dan menagih paksa, "Seribu lagi, Neng!"
Aah.. Naiknya sampai dua kali lipat?! Pikir saya sambil menahan kesal di dalam hati.
Fenomena ini pasti dirasakan semua pengguna angkot. Secara luasnya adalah untuk semua bentuk angkutan umum dengan tarif yang tidak pasti. Dalam hal ini saya bicara angkot, sebagai moda transportasi yang sehari-hari paling sering saya gunakan. Perasaan berdebar-debar ini pun saya rasakan manakala saya gunakan angkot ke jurusan yang tidak pernah saya lewati maupun di kota yang tidak pernah saya tinggali.
Belajar dari pengalaman
Prinsip saya hanya itu. Dari beberapa kali menaiki sebuah angkot jurusan tertentu, saya akan semakin paham kisaran tarifnya.
Kenaikan tarif yang tidak diprediksi
Semenjak peristiwa kenaikan BBM, perasaan berdebar-debar ini semakin menjadi-jadi. Beberapa angkot menaikan tarif dengan cukup realistis, namun ada pula yang saya nilai cukup berlebihan dan membuat si sopir angkot harus bersitegang dengan beberapa penumpangnya. Saya pilih tidak cari masalah, saya ikuti saya permintaan si Mang angkot.
Ya.. hitung-hitung nambah penghasilan si sopir.
Bukan, bukan soal ketidakikhlasan saya merogoh tambahan seribu bahkan dua ribu perak untuk ongkos sehari-hari. Namun ketidakpastian tarif ini untuk semua angkutan umum di Indonesia saya rasa menjadi sebuah ketidaknyamanan yang cukup krusial untuk bepergian ke manapun, juga sangat tidak ramah bagi orang-orang baru.
Semoga kelak seluruh sopir angkutan umum di Indonesia mendapat nominal penghasilan tetap yang layak dan seluruh angkutan umumnya memiliki tarif yang pasti! Aamiin!
Positifnya, jantung saya terlatih dengan setiap rasa deg-degan sebelum membayar ongkos angkutan. Hahaha..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar