24 Mei 2014, Kabupaten Malang.
Kebiasaan masyarakat Indonesia menyikapi sampahnya adalah bagaimana menyingkirkan ‘masalah’ itu sejauh-jauh dan sesegera mungkin. Namun lain ceritanya dengan masyarakat Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang Jawa Timur. Dari sampah menjadi berkah.
Akibat sampah, desa yang dilewati Kali Brantas ini awalnya hampir menjerumuskan kepala desanya pada tahun 2007 ke peradilan. Desa yang menghasilkan sampah hingga 30 meter kubik per hari ini sebelumnya terbiasa menggelontor sampahnya langsung ke Kali Brantas, hingga dikecam oleh pemerintah kebuapaten setempat karena dinilai sebagai salah satu penyebab utama pencemaran Kali Brantas.
Mulai tahun 2008 Desa Mulyo Agung mendapatkan hibah bahwa sampah harus dikelola. Tahun 2009 dimulai dengan dilakukan pembebasan lahan untuk pembangunan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) seluas 2000 meter kubik. TPS yang berdiri pada tahun 2010 ini mulai berani dioperasikan oleh masyarakat pada tahun 2011.
Pak Supadi, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat |
Awal berdirinya TPS pada 4 bulan pertama menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat bahkan pengurus harus menelan caci maki. Hal ini dipicu oleh timbulnya bau yang diakibatkan proses pengelolaan yang belum sempurna serta adanya lalat dan belatung. Pak Supadi dan tim tidak kehabisan akal. Berawal dari mencoba memanfaatkan ayam untuk menyantap habis belatung-belatung yang timbul, pengurus mencoba membangun beberapa kolam yang berisikan ikan lele dan nila. Rupanya belatung dengan protein yang sangat tinggi ini sangat potensial untuk budidaya ikan.
Kolam budidaya ikan sebagai salah satu alternatif dalam pemanfaatan sampah |
Sampah yang saat ini berjumlah 64 meter kubik ini dihasilkan oleh 7800 KK yang terdaftar sebagai pelanggan. Peningkatan jumlah pelanggan hingga dua kali lipat terjadi setelah TPS berjalan 3 tahun lamanya. Pengelolaan sampah yang dilakukan hanya menyisakan residu sejumlah 16% dari keseluruhan sampah yang masuk, untuk kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Untuk biaya operasional, masing-masing KK ditarik iuran sebesar 5.000-12.000 rupiah/bulan. Penarikan iuran tersebut diserahkan kepada pengurus RT dan RW masing-masing dan mengambil bagian sejumlah 10% sebagai 'upah' dalam pengumpulan iuran. Sejumlah 38 juta rupiah berhasil ditarik dari pelanggan, sementara biaya total yang dibutuhkan untuk keseluruhan operasional adalah 90 juta rupiah. Bagaimana mengisi selisihnya? Nah ini yang menarik. Berbagai jenis sampah yang masuk dipilah dengan dibagi dalam beberapa zona.
Tahap awal adalah sampah dipilah secara manual menggunakan tangan. Deretan petugas sibuk memilah sampah-sampah yang baru saja masuk ke area TPS. Kemudian sampah yang telah terpilah tersebut ddistribusikan ke setiap kamar-kamar yang mengkategorikan sampah berdasarkan jenisnya. Dari jenis sampah anorganik dapat menghaslkan 473 jenis produk dan 39 di antaranya dibeli oleh pabrik sedangkan sisanya ke pengepul sampah untuk dijual.
Pemilahan sampah |
Pengelompokan jenis sampah hingga siap dikemas untuk dibeli pabrik-pabrik dan dijual ke pengepul sampah |
Proses pembuatan kompos |
Jenis sampah organik berupa dedaunan dipisahkan untuk diolah menjadi kompos. Kompos ini digunakan kembali di kebun-kebun di Desa Mulyoagung. Untuk sampah sisa-sisa makanan lain seperti nasi dan bahan-bahan dapur lainnya dikumpulkan untuk kemudian dicacah manual dengan sabit dan dibungkus dalam kemasan plastik-plastik, siap dibeli oleh peternak babi dan bebek. Satu buah kantongnya dibanderol dengan 3000 rupiah saja. Dari penjualan sisa makanan ini bisa menghasilkan hingga 3.500.000 rupiah per bulan. Selain itu dilakukan juga budidaya peternakan kambing dan bebek dengan pakan sampah basah dan sampah organik dari hasil pemilahan.
Pencacahan, pengepakan, dan daftar peternak langganan (kiri ke kanan) |
TPST telah membuka lapangan pekerjaan untuk 77 karyawan yang berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Pengelolaan TPS ini dapat menjadi alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang kurang mampu. Usaha ini mampu menggaji karyawannya dengan biaya minimum 850 ribu rupiah dan maksimum 1.250.000.
Pak Supadi sebagai ketua Kelompok Swadaya Masyarakat memiliki prinsip dan kunci kesuksesan dalam mengajak masyarakat peduli dengan persampahan dengan tidak menggunakan konsep 'sosialisasi', namun lebih kepada sharing ide atau berbagi satu sama lain.
"Ngolah sampah tidak boleh pinter-pinteran!" ujarnya.
Semoga ada Pak Supadi Pak Supadi lain yang lahir menjadi solusi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar