Saya adalah anak yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota. Segala akses kemudahan teknologi di kota besar sudah saya cicipi. Dari aktivitas saya sejak kecil hingga kuliah, keluarga saya menilai bahwa saya memang senang bermain di alam. Saat itu, saya mengamini hal tersebut. Namun saya definisikan bermain, belajar, dan mencintai alam sesuai dengan pengalaman saya saat itu. Dari kecintaan saya berjalan-jalan ke alam bebas, aktivitas outdoor tanpa khawatir warna kulit menjadi gelap, dan aktivitas saya di bidang pelestarian lingkungan, saya merasa bahwa diri saya sangat mencintai alam ciptaan-Nya ini, dan ingin banyak dekat dengan alam.
Berpindah kota ke Bandung saat kuliah adalah sebuah kemahalan bagi saya ketika bisa mendapatkan bahwa menemukan daerah pepohonan yang masih hijau tidak sulit di sini. Bahkan jika disempatkan, saya bisa menikmati setiap akhir pekan saya untuk ‘dekat dengan alam’. Sampai saat itu, saya masih merasa bahwa saya memang mencintai alam ini.
Tak kenal maka tak sayang
Di detik ini, saya harus katakan bahwa saya salah mengenali diri saya. Saya tidak pernah benar-benar mencintai alam ini. Bahkan saya hanya menjadikannya sebuah ‘hiburan’ di tengah kesibukan saya yang lain, sebagai pemanis di tengah kesuntukan saya, dan sebagai latar indah di balik foto-foto saya. Saya tidak sedikitpun menghabiskan keringat dan pikiran dalam hidup saya dengan pertanyaan seperti : “Darimana makanan saya berasal? Bagaimana cara saya mengelola alam agar saya dan generasi selanjutnya bisa menghasilkan bahan makanan seperti ini?”.
Alam menjadi tanggung jawab manusia untuk dikelola dengan bijaksana, sebagai pemenuhan kebutuhan seluruh umat manusia.
Saya mengatakan bahwa saya punya kegelisahan dengan masalah banyaknya sampah sisa makanan justru lebih kepada khawatir akan permasalahan sampah yang membludak di kota, di mana justru sense yang terbangun seharusnya lahir dari akar masalah bahwa proses pembuatan makanan itu panjang dan tidak seharusnya kebutuhan primer ini disia-siakan. Poin kedua saya katakan dan saya amini setiap saya terlibat dalam diskusi dengan kawan-kawan yang memiliki kepedulian di bidang pangan, namun lagi-lagi saya harus katakan bahwa saya sejujurnya tidak paham bagaimana sebenarnya ‘proses produksi makanan yang panjang’ itu. Saya tidak benar-benar mengenal langsung hingga saya merasakannya sendiri. Tak kenal maka tak sayang benar-benar saya resapi maknanya di detik ini.
Alam itu cerminan kehidupan manusia
Ini yang sangat mahal. Belajar dari alam yang saya kenal dulu sempit sekali. Mempelajari tingkah laku dan pertumbuhan makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan hanya sebagai sebuah hafalan tidak bermakna. Sesekali menjadi wawasan untuk bekal pemanfaatannya dalam kehidupan manusia. Namun rupanya ada pelajaran dan makna yang sangat berharga dari alam. Bagaimana Sang Pencipta mendesain pertumbuhan sebuah tanaman, cara hidup masing-masing jenis hewan, semuanya adalah refleksi dari kehidupan manusia yang patut diambil pelajaran. Sebagai contoh adalah bagaimana seekor elang hidup dalam tulisan saya di sini. Dan bagaimana memahami etos kerja yang paling unggul dari seekor lebah. Bahkan dari melihat proses pertumbuhan semua makhluk ciptaan-Nya, kita akan tersadar bahwa segala sesuatu itu perlu proses dan yang instan bukan sesuatu yang sehat, baik secara fisik maupun psikologis.
Sebuah tanaman yang berasal dari benih akan menjadi tunas, lalu diletakkanlah ia di dalam pot kecil. Tanaman itu diberikan nutrisi yang sama dengan kondisi lingkungan yang sama di dalam sebuah pot. Namun pada saatnya, ia tumbuh besar dan semakin besar. Jika tidak dipindahkan, ia akan mati. Kalaupun ia bisa tetap tumbuh di dalam pot tersebut, namun terbatas. Terbatas dari segi pertumbuhan, maupun manfaatnya. Namun lain ceritanya ketika tanaman tersebut kita pindahkan ke tanah yang baik, ke lahan baru yang lebih luas, tumbuhnya akan semakin besar dan manfaatnya akan semakin banyak. Jangan kaget ketika di awal perpindahan, tanaman tersebut akan tumbuh merana terlebih dahulu. Namun setelah itu, ia akan menjadi besar dan bisa berkembang memberikan manfaat yang jauh lebih besar. Seperti halnya manusia. Sudah kodratnya untuk dilepaskan dari zona nyamannya, kampung halamannya, lingkungan di mana ia dimanja, untuk menjadi orang yang besar. Meskipun di awal perpindahannya akan sakit rasanya, namun itu sudah menjadi fitrah dan hal yang biasa. Seperti seekor elang yang harus melewati fase sakit luar biasa untuk menjadi hewan yang kuat.
Saya belum lama keluar dari pot itu. Namun tidak ada kata terlambat. Meskipun begitu, tunas muda itu akan lebih besar manfaatnya ketika dikeluarkan di saat muda. Pendidikan yang dekat dengan alam itu harus dimulai dari sedini mungkin. Di situlah peran besar orang tua. Seperti sebuah induk tanaman yang melepas bagian tunas mudanya agar bisa berdiri sendiri dan tumbuh besar.
Manusia itu sudah kodratnya didekatkan dengan alamnya. Semakin kenal dirinya dengan apa yang diciptakan-Nya, maka akan semakin kenal pula dirinya pada penciptanya.
tulisanya bagus
BalasHapus