Bagaimana dari sudut pandang para seniman sanggar sebagai penghuni tetap Babakan Siliwangi?
Kami sempat diajak untuk mengobrol dengan Pak Susantono, seniman yang aktif di Sanggar Olah Seni (SOS) yang bertempat di Babakan Siliwangi ini. Letaknya tak jauh dari lokasi tadi. Sanggar ini fokus pada seni rupa. Keberadaan sanggar ini telah dikenal oleh banyak seniman di ranah nasional. Bangunan sanggar ini bersifat legal. Meskipun mereka tidak memegang surat, tetapi keberadaannya tercata di Pemkot Bandung. Sejak tahun 1982, sanggar ini telah didirikan dengan diprakarsai oleh salah satunya Bapak Barli dan dan Bapak Anang. Pendanaan didapat dengan diawali oleh penjualan tape hingga ke negara Jepang. Lalu pada akhirnya mereka berhasil mendapat izin dari Pemkot Bandung untuk mendirikan sanggar di tanah tersebut. Gedung tempat Pak Lurah berkantor pun mendapat tanah dari hak sanggar.
Mengapa harus di Baksil? Lokasi ini dinilai tempat yang representatif untuk berkarya. Sejak tahun 2002, banyak kepentingan-kepentingan yang masuk ke wilayah Baksil ini, tetapi sanggar memiliki komitmen untuk tetap ada. Sanggar ini adalah satu-satunya sanggar yang termasuk besar di Indonesia. Anggotanya hingga saat ini mencapai angka 800. Tahun lalu sempat ditawarkan untuk tukar guling dengan 7 kios di samping kebun binatang, tetapi ditolak oleh pihak sanggar karena sanggar ini juga merupakan tempat olah rasa. Sanggar ini memiliki tujuan mulia, yaitu selain mengembangkan seni di Jawa Barat, mereka juga menjunjung tinggi pendidikan seni rupa.
Keberadaan sanggar ini sangat menghidupkan Baksil. Konsep yang ditawarkan para seniman terdahulu adalah Baksil menjadi kampung budaya, tetapi sempat tidak digubris oleh pemerintah. Mempergunakan Baksil untuk kegiatan-kegiatan positif sangat menghidupkan lokasi ini. Sayangnya pers dan media yang sering diundang oleh pihak sanggar tidak terlalu sering meliput kegiatan-kegiatan seni di daerah ini. Yang ramai diliput justru malah kejadian-kejadian miring yang terjadi di Baksil seputar kepentingan-kepentingan politik. Baksil seakan tidak memiliki hawa positif.
Pak Susantono menyampaikan keinginannya sebagai seniman bahwa Baksil harus tetap menjadi hutan kota.
"Kenapa harus jauh-jauh kalau mau menghutankan? Kenapa tidak mulai dari Sabuga saja yang dihutankan?",
"Sabuga adalah pemicu awal mulanya pendirian bangunan di Babakan Siliwangi."
Kira-kira begitu yang disampaikan Pak Susantono. Kami yang mahasiswa ITB hanya bisa senyum-senyum kecut. Faktanya Baksil ini memiliki sampai 7 mata air. Mata airnya juga digunakan ITB untuk water tap. Beliau sendiri bingung dan sempat bertanya pada kami.
"Yang saya tahu, Sabuga itu dibangun untuk kepentingan mahasiswa ITB. Lalu kenapa ketika mahasiswa mau menggunakannya, harga yang harus dibayar terlampau mahal? Lalu itu untuk siapa dong?"
Kami hanya diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saya juga ikut berpikir. Bahasan selanjutnya, Pak Susantono juga mempertanyakan soal pengetahuan kami tentang Baksil. Ini cerita lama, bahkan dulu mahasiswa ITB sempat melakukan aksi untuk Baksil. Awalnya ia bertanya asal daerah kami. Hmm.. ternyata warga Bandungnya hanya minoritas. Lalu ia melanjutkan,
"ITB itu punya nama. Tapi kalau mahasiswanya sudah keluar (lulus) dari kampus akan sibuk ke dunia dan daerah masing-masing. Lalu ke mana nilai-nilai itu? Mengapa sekarang kalian harus memulai dari 0 lagi? Tentang tingkat kepedulian harus rajin-rajin diwarisi."
Lagi-lagi kami banyak berpikir di situ, introspeksi diri.
Seniman ini tidak banyak mengerti soal pergelutan politik di Babakan Siliwangi. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa mempertahankan "rumah" nya ini untuk sarana pengembangan seni di Jawa Barat, dan di Indonesia. Saya sebagai pecinta seni pun salut dengan kegigihan mereka. Misinya untuk mengembangkan kesenian tanah air sangat konkrit. Apapun yang terjadi, mereka tetap akan mempertahankan kehidupan sanggar olah seni ini. Melihat lukisan-lukisan dan karya-karya di sini mengingatkan saya untuk kembali mengolah kemampuan seni rupa saya :) Tak jarang mereka menggunakan bahan-bahan alam untuk karya-karya mereka. Tidak ada salahnya untuk kita sering kemari, ikut menghidupkan pendidikan seni di sini. Lokasinya mudah dijangkau kok, dari pintu utama Sabuga, belok saja ke kanan, kemudian jalan lurus saja. Nanti akan ketemu bangunan-bangunan seni ini, tepat di depan pohon-pohon rindang Baksil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar