Sabtu, 25 Agustus 2012

Tanah Surga... Katanya : Potret Dilema Masyarakat Perbatasan


Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman



Lagu yang dipopulerkan Koes Plus ini lantas terus terngiang di telinga.

Film layar lebar ini berhasil membuat saya termangu. Sampai ketika saya menulis ini pun masih ada perasaan mengganjal yang tertinggal di benak saya.


Tanah Surga... Katanya mengisahkan potret kehidupan masyarakat dusun pedalaman Kalimantan Barat yang hidup di perbatasan Indonesia-Malaysia. Pesan saya, jangan salah interpretasi. Yang mau disampaikan bukan jenis provokasi hubungan Malaysia-Indonesia yang sempat tidak akur. Mari melihat dengan kacamata lain.

Adalah sangat manusiawi ketika sebagai seorang rakyat akan berusaha mencari bentuk penghidupan yang layak. Pun sangat wajar ketika harus memilih, pilihan akan jatuh pada sebuah kesejahteraan kehidupan yang pasti dan jauh lebih menjanjikan. Ini yang dialami oleh keluarga Hasyim (Fuad Idris), sang mantan pejuang Indonesia yang memiliki rasa cinta dan percaya penuh pada Tanah Air Indonesia. Indonesia harga mati.

"Indonesia itu negara kaya!"
"Yang kaya itu Jakarta, Pak! Rakyat Kalimantan pinggiran seperti kita tidak dapat apa-apa!"

Kira-kira begitulah gambaran perdebatan Hasyim dan anak lelakinya, Haris (Ence Bagus). Haris adalah contoh dari sekian banyak masyarakat perbatasan yang berhasil termanjakan oleh perputaran uang dan fasilitas di negeri tetangga. Alih-alih mendapat fasilitas penghidupan yang layak, Haris memilih berpindah kewarganergaraan. Kasarnya, boro-boro mau mempertahankan kecintaan pada Indonesia, menikmati kehidupan layak pun tidak. Salman (Osa Aji Santoso) memutuskan untuk tetap bertahan di tanah Kalimantan dengan kakeknya, sementara Haris memboyong adik Salman, Salina (Tissa Biani Azzahra).

Bentuk kritikan pedas beberapa tersampaikan dengan cara blak-blakan, sedangkan sebagian besar sisanya digambarkan lewat detil pola hidup si masyarakat dusun tersebut. Menangkap semua detil itu membuat perasaan semakin miris. Mulai dari perbedaan drastis penampakan jalan raya perbatasan Indonesia-Malaysia, hingga bentuk eksistensi identitas bangsa yang rupanya minim dirasakan masyarakat pinggiran ini. Lembaran uang rupiah pun rasanya seperti melihat uang monopoli.

Apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan cinta pada negeri ini...

Saat ini lagi-lagi saya merasa sangat bersyukur dilahirkan di tanah Jawa, di mana segalanya serba berkecukupan. Mengeluhkan hal-hal sepele menjadi hal yang memalukan rasanya. Menyaksikan film ini menjadi sebuah tamparan keras. Beberapa orang bisa memandangnya "Ah, itu kan cuma film". Saya memilih esensi film ini sebagai sebuah suntikan energi dan bentuk PR besar. Untuk yang sedang memerlukan pecutan dan sentilan dalam hal berkarya untuk bangsa, film ini sangat saya rekomendasikan! :)


2 komentar:

  1. masih adakah orang y rela berkorban untuk membangun daerah pinggiran y negara pun lepas tangan?
    Jujur, kalo saya sendiri merasa berat

    BalasHapus
  2. nice review, dek! jadi pengen nonton..

    BalasHapus