Kamis, 07 Februari 2013

Doa datangnya dari mana saja

Ceritanya baru beberapa menit yang lalu, ketika tidak biasanya saya pulang lebih awal. Saya menggunakan angkot ungu langganan saya dari kampus menuju ke kosan.

Saya naik dari depan gerbang kebun binatang. Angkot diisi oleh sekitar 4 orang. Tepat di depan gerbang belakang ITB, angkot ini ngetem. Berhubung tidak diburu waktu, saya santai saja menunggu sambil mengetik beberapa SMS di telepon genggam saya. 

Seorang kakek berambut putih masuk ke dalam angkot. Setelannya santai, menggunakan kaus dan celana bahan, lengkap dengan topi. Kisaran usianya sekitar 70an dan sudah menggunakan tongkat. Agak kepayahan beliau masuk, tanpa sengaja barang bawaannya menyenggol tas berisi laptop yang saya jinjing.

"Waahaduh, maaf ya." ujarnya spontan dengan suara agak serak, khas kakek-kakek. Saya balas dengan senyum dan anggukan.

Mengamati tas bermotif saya, beliau menebak, "Kalau saya liat dari tasnya, kamu anak seni rupa ya?"

"Oh, bukan, Pak." sambil tetap tersenyum

"Jurusan apa kalau gitu? Eh sekarang di ITB namanya program studi ya?"

"Teknik Lingkungan, Pak"

"Wah setiap saya tanya anak yang seangkot sama saya, banyak juga ya anak Teknik Lingkungannya. Udah mau lulus ya?"

"InsyaAllah sih mau Oktober ini, Pak, " saya balas dengan senyum (lagi).

"Kalau Teknik Lingkungan, nggak ada yang ngurusin lingkungannya luar angkasa, ya?" ujarnya sambil sedikit tertawa.

"Hehehe, nggak tuh, Pak"

Lalu berlanjut dengan cerita singkat beliau mengenai obrolannya dengan Pak Emir Salim, mengenai kerusakan alam Indonesia. Mulai dari situ, berlanjut dengan topik lainnya, yaitu harga kos-kosan zaman sekarang hingga sedikit cerita tentang zamannya dulu, ketika pribumi adalah warga negara kelas 2.

"Orang dulu selalu membangga-banggakan zamannya dulu, tapi kalau saya tanya mau kembali ke zaman itu atau tidak, jawabannya pasti tidak. Kenapa? Ya karena dulu perbedaan hak pribumi-Belanda sangat berbeda. Gaji, bahkan gerbong saja dibedakan. Pernah kakek saya iseng beli tiket putih yang harusnya untuk gerbong Belanda, lalu santai aja dia duduk di gerbong itu. Kondekturnya, kulitnya coklat juga padahal, pribumi juga sama dengan dia, datang dan ngusir kakek saya itu." 

Sepertinya seisi angkot ikut menyimak.

"Ada ruangan yang tulisannya 'Pribumi dan Anjing dilarang masuk'. Bagaimana nggak sakit hati?"

Rute kami pendek, jarak kampus-Cisitu hanya dilewati 10 menit lamanya. Saya sempat menanyakan tempat tinggal beliau berhubung kami satu arah, dijawab hanya dengan tunjukan tangan, namun kata beliau ia mau mampir makan dulu.

"Kiri payun, Pak. Saya mau makan dulu di situ," katanya sambil sibuk meluruskan kaki dan merogoh uang receh dari saku celananya.

"Saya duluan ya. Semoga lancar lulusnya, ya" pesannya sambil berusaha berdiri dengan tongkatnya, menepuk lutut saya perlahan, dan melangkah turun dari angkot. Disampaikannya doa itu dengan sangat jelas.

"Wah, aamiin. Ati-ati, Pak!"

Dan angkot saya pun melaju terus, mengantarkan saya hingga di depan kosan. Sebuah hal kecil yang membuat suasana hati saya jauh lebih baik.

Rezeki datang dari mana saja. Doa adalah rezeki.

Alhamdulillah :)



2 komentar:

  1. Orang dulu selalu membangga-banggakan zamannya dulu, tapi kalau disuruh kembali ke masa itu...pasti ga mau, bener banget, dalem :)

    BalasHapus