Minggu, 16 Juni 2013

Pendidikan Anak Nusantara


Ceritanya saat ini saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memperpanjang waktu abdi saya di kampus. Bidang saya saat ini menerjunkan saya untuk menyelami hal yang sebelumnya hanya saya dengar dan amati ceritanya dari orang-orang di sekeliling saya, yang mana mereka adalah sekelompok pemerhati dan aktivis pendidikan. Saya hanya sebagai pendengar. Tapi saat ini saya bisa berceloteh sendiri, atas apa yang saya lihat dan saya rasakan.

Pendidikan

Wawasan nusantara

Atas sebuah usulan program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), sekitar 500an putra-putri Papua dikirimkan untuk belajar di 31 universitas tersebar di Indonesia. Direktorat jenderal pendidikan tinggi (Dikti) sebagai eksekutor menyerahkan kepercayaannya pada Pemda setempat untuk melakukan proses seleksi. Kuota yang diberikan sejumlah 1000 kursi, namun pendaftar hanya berkisar 700 anak. Alhasil seluruh pendaftar diterima. Namun hanya yang mendaftar ulang yang tetap melangsungkan proses ini. 

Berawal dari perkenalan saya dengan salah seorang putra daerah asal Yalimo, Papua. Namanya Mewan. Yalimo kedengarannya sangat asing di telinga saya. Rupanya untuk mencapai kampungnya, selain menaiki pesawat Jakarta-Jayapura-Wamena dan mobil,  Mewan masih harus berjalan kaki 1 hari untuk sampai ke rumahnya! Mewan adalah salah satu dari kawan-kawan Papua yang mulai tahun 2012 lalu mengecap pendidikan tinggi di kampus ITB.

Kampus saya menerima 11 putra Papua dari daerah berbeda-beda untuk jurusan sipil, elektro, dan mesin. Namun hingga saat ini hanya 6 anak yang bertahan dan masih terjaga komunikasi dan komitmennya. Ketiga jurusan tersebut dipilihkan oleh Pemda Papua dengan harapan dapat menjadi bekal untuk kembali dan membangun kampung halamannya. Anak-anak ini diterjunkan dalam kurikulum Tahap Persiapan Bersama, tanpa perlakuan khusus, kecuali pendampingan tutor dari beberapa mahasiswa yang sifatnya sukarela. 

Materi kuliah tahun pertama yang sama sekali tidak mudah, perbedaan kultur, dan kondisi lingkungan yang jauh berbeda tentu menjadi hal yang asing bagi mereka. Maka tidak perlu heran ketika indeks prestasinya nyaris 0, jika tidak terbantu oleh mata kuliah olahraga. Baik secara akademik maupun psikologis, mereka belum siap dan tidak disiapkan.

Mereka hanyalah segelintir anak dari ribuan, bahkan jutaan kawan kita yang tidak mengecap pendidikan formal berkualitas di kota. Saya semakin miris dibuatnya ketika saya berkesempatan mengunjungi Surya Institute, sekolah di bilangan Serpong dengan program khusus hasil kerjasama dengan Pemda Papua. Tidak jarang ditemukan anak-anak seumuran dengan saya namun tidak mengenal huruf, angka, mengenal angka hanya 1-4, bahkan turus!

Sedikit gambaran mengenai kondisi pendidikan masyarakat Papua, di mana tingkat buta huruf masyarakat masih mencapai 39,23% (BPS,2012). Sedangkan untuk angka partisipasi sekolah pada tingkat perguruan tinggi masih sangat minim, 13,92% untuk Provinsi Papua dan 19,31  untuk Provinsi Papua Barat. Secara keseluruhan, hanya 13,54% masyarakat Indonesia yang mengecap pendidikan hingga level perguruan tinggi. Hal ini pun terdesentralisasi di wilayah perkotaan, khususnya Pulau Jawa. Saya baru bicara 1 daerah. Dan masih banyak belasan ribu pulau, 300 suku, puluhan juta penduduk yang jadi tanda tanya besar soal pendidikannya.

“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.” 

Di sini kecintaan saya pada bangsa ini diuji. Peta Indonesia yang terpampang di tembok kamar sebagai dorongan cita-cita mengelilingi tanah air dan ilmu yang diserap dalam rangka mengenali bangsa ternyata masih jauh dari maknanya.

Terima kasih, ya Allah karena telah memberikan kejutan, jalan untuk berbagai petualangan seru di hidup saya untuk kembali mengingat makna syukur.


4 komentar:

  1. aing selalu kagum sama si rani ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah nuhun, Cah! :) Mbah kungnya juga keren, Cah!

      Hapus
  2. Berjalan-jalan ke luar Jawa memang merupakan kesempatan untuk melihat ketimpangan pembangunan yang ada di Indonesia. Dosenku malah mengatakan pergi ke luar Jawa adalah usaha pembuktian untuk melihat bahwa Indonesia ini tidak adil

    BalasHapus
  3. memang ran untuk masalah standar pendidikan, daerah timur memang lebih tertinggal. mestinya ada kelas khusus ya buat yang dari daerah timur supaya ga terlalu kaget dengan standar pendidikan di sini

    BalasHapus