Jumat, 02 Mei 2014

Sisa-sisa (makanan) yang tidak diikhlaskan

Saya kutip judul tulisan ini yang mirip dengan judul sebuah lagu Payung Teduh yang berjudul "Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tidak Diikhlaskan", dari celetukan seorang teman. 


Ini adalah curahan kegelisahan saya sebagai seorang pecinta makanan

Pikiran-pikiran ini berawal dari hal yang paling sederhana. Saya belum akan menyajikan data dan fakta untuk memperkuat opini saya. Saya hanya mau berbagi sebagai seorang penikmat segala jenis hidangan, 

Saya merasa sangat terganggu dan merasa bersalah dengan fenomena di mana segala jenis asupan perut itu harus terbuang begitu saja, tanpa melewati perut manapun. Hal ini paling sering saya temukan di setiap acara publik seperti pesta, seminar, dan sejenisnya yang menghadirkan makanan prasmanan. Sajian makanan dan minuman gratis, di mana pengunjung tidak menanggung beban sepeserpun di situ. Kita dibebaskan untuk memilih dan menentukan besar kecilnya porsi segala jenis makanan dan minuman yang kita sukai, namun banyak sekali saya temukan yang pada akhirnya piring-piring berisi makanan itu hanya tersentuh sebagian dan dianggurkan di meja piring kotor. Kasus serupa juga ditemukan di beberapa restoran di mana pelanggan meninggalkan piring yang masih berisi makanan yang tidak habis di atas mejanya begitu saja dan melenggang pulang. Itu hanya dua buah contoh dari sekian banyak fenomena yang pasti sering kita temukan di sekitar kita, khususnya di kawasan urban.



Sudah kenyang? Porsi terlalu besar? Tidak suka dengan rasa makanannya?

Ilustrasi sisa-sisa makanan
Sumber : http://www.innovationmanagement.se/2012/05/16/a-coming-food-waste-revolution/
Saya ingat kembali memori ketika saya masih kecil, momen ketika makan bersama keluarga di rumah makan, Ibu saya jarang sekali memesan makanan sendiri. Seringkali saya heran dibuatnya. Lalu ketika di antara kami tidak menghabiskan makanan, Ibu saya siap sedia untuk menghabiskan. Ibu saya di rumah selalu mewanti-wanti dan mengajarkan kami sejak kecil untuk tidak menyisakan makanan. Jika ada makanan tersisa di rumah, beliau pasti akan putar otak dan pilihannya adalah mengajak kami menghabiskannya, atau segera membungkusnya untuk segera diberikan ke orang lain. Kemudian beliau akan berceloteh ketika menemukan makanan yang sudah kami beli atau pilih sendiri, namun pada akhirnya tidak dihabiskan hingga kadaluarsa dan terpaksa harus terbuang.

Rangkaian kebiasaan kecil di rumah yang dibangun ibu saya membuat saya paham.
Bukan, bukan paham karena seorang ibu cenderung lebih mudah gemuk ketika mengurus anak :)) (meskipun saya pun melihat fenomena ini). Tetapi mengapa dan apa efeknya untuk anak hingga dewasa nanti.

Beberapa keluarga menerapkan mitos supaya anak menghabiskan makanannya dengan membuat seakan-akan makanannya hidup dan bisa menangis jika terbuang. Ada pula kisah Dewi Sri yang konon katanya akan menangis jika ada nasi yang tertinggal di piring dan terbuang. Lucunya, dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dibangun dengan analogi cerita-cerita fiksi itu terkadang ampuh juga. 

Namun jauh dari kisah itu, ada makna yang jauh lebih dalam dari fenomena menyisakan makanan.

Tanggung Jawab
Selesaikan apa yang sudah menjadi pilihan dan tanggungan (makanan) kita. Ambil sebesar dan semampu kita untuk menyelesaikannya. Ini adalah esensi yang paling sarat saya rasakan dari hasil didikan ibu saya di rumah.

Bersyukur
Semua yang diberikan di depan mata kita adalah rezeki yang sudah diatur sedemikan rupa. Bersyukur bahwa manusia diberikan sinyal lapar untuk makan dan sinyal kenyang untuk mencukupkan asupan itu.

Ingat pada orang lain
Setelah kenyang, ingat bahwa rezeki yang diberikan ke setiap manusia itu bukanlah sepenuhnya menjadi miliknya. Maka mungkin jika cukup dengan porsi yang lebih kecil, sisakan untuk orang lain yang berhak. Dan ketika mengingat orang lain yang begitu sulitnya mendapatkan sesuap nasi, kita pasti akan jauh lebih bersyukur dengan segala hidangan di depan mata kita.

Kasus sederhana tentang kebiasaan makan memakan kita, tapi mencerminkan sebuah sisi dari kepribadian seseorang :)

Ayo, habiskan makananmu!

2 komentar:

  1. Ran, Ini Dito tmn lo sma 28. Gw bilang ini fenomena yg lo tulis disini sering banget kejadian. Kadang gw mikir ya, misal satu orang nyisain makanan 50 gram alias 20% dari makanan yg dipesan. Gimana kalo 1000 orang? Itu udah setengah kwintal makanan terbuang. Padahal kalo emang nggak abis yg jgn ambil kebanyakan. Ambil sedikit kalo kurang ambil lg tapi seringnya org mumpung gratis ambil banyak trus kebuang. Heran banget apa mereka nggak ada pikiran siapa tau makanannya bisa buat org lain? Heraaaan banget gw.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Dito! Iya, To. Udah ada penelitian bahkan 30% bagian dari sebuah makanan itu terbuang. Hmmm... Kalau soal tanggung jawab karena gratisnya, itu kayaknya bisa sama perlakuannya sama gimana orang-orang peduli sama fasilitas publik kali ya. Karena nggak merasa memiliki, jadi diperlakukan seenaknya. Sama halnya sama makanan dan urusan dapur, kalau gratis jadi nggak merasa bertanggung jawab. Hal sesimpel ini berpengaruh banget karena culture dan didikan dari rumah sih. Hehe

      Hapus