Rabu, 01 Juni 2011

Bagaimana dengan "penghuni liar" di Babakan Siliwangi?

Ada sisi sosial yang perlu kita telusuri dari Babakan Siliwangi ini. Selain dari sisi politik dan keruwetannya, sisi para penghuni legal yaitu sanggar olah seni, sekarang mari bicara dengan "penghuni liar" yang digusur oleh Satpol PP. Bagaimana kelanjutan hidupnya?

Ketika sedang melihat sisa-sisa reruntuhan bangunan, saya sempat berkenalan dengan Mas Akli. Dua tahun yang lalu ia beberapa kali main ke daerah ini. Dulu ia kemari karena tertarik dengan pembuat biola di tempat ini. Kemudian dari situ mulai mengenal banyak orang-orang yang bermukim di tempat ini.

Sisa-sisa reruntuhan

Sebelum pulang kami menyempatkan untuk mengobrol dengan Ibu Ipah, salah satu warga yang tinggal secara ilegal di Baksil ini. Sebelumnya Mas Akli banyak bercerita tentang beliau. Ketika Satpol PP datang dan mengamankan tempat ini, semua orang digusur dan diharuskan secepatnya meninggalkan lokasi itu. Nah mungkin akan mudah ketika tempat tinggal sebenarnya orang-orang ini adalah di Bandung. Bagaimana yang berasal dari kota lainnya?

Ibu Ipah berasal dari Garut. Ibu 6 orang anak ini dibawa oleh suaminya 4 tahun yang lalu tanpa tahu apa prospek di Bandung. Dibawa ke lokasi ini, Ibu Ipah tidak tahu menahu. Ini tanah siapa dan bagaimana status mereka di sini? Suaminya adalah pemulung. Sekarang kondisinya sudah tidak dapat diharapkan lagi. Ia telah hilang ingatan dan menghilang hingga saat ini. Tahu akan seperti ini akhirnya, Ibu Ipah menyesal telah mengiyakan ajakan suaminya untuk mengadu nasib di Bandung.

Ibu Ipah dikaruniai 6 orang anak. Ada yang menetap di Garut, ada yang ngamen di Simpang, ada yang bekerja di arung jeram Sungai Cikapundung, dan yang paling kecil harus menderita tuna netra dan tinggal bersama Ibu Ipah. Ketika saya berkunjung ke sana, anaknya ini sedang tidur. Ketika pada akhirnya mereka harus diusir dari tempat itu, mereka jelas bingung. Untuk makan saja susah, uang dari mana kalau mereka harus kembali ke Garut? Maka Mas Akli memberikan bantuan berupa jalur permintaan dana ke Dinas Sosial.

Astagaa... saya miris sekali mendengar bagian ini. Hanya memperjuangkan uang 30 ribu per kepala saja susahnya minta ampun! Pertama minta surat ke polisi, tidak dapat. Dari kelurahan oke dapat surat, tapi tersendat lagi di kecamatan, diminta surat dari polisi. Selain itu juga dikatakan tidak bisa di pihak Dinas Sosial. Kembali ke kepolisian, lagi-lagi gagal sampai harus beradu argumen. Akhirnya langsung saja ke Dinas Sosial dan akhirnya turun juga dananya. Tepat di hari kami berkunjung ke sana, sore harinya Ibu Ipah dan anak-anaknya dapat kembali ke Garut.

Saya sempat bertemu dengan si pembuat biola, Kang Budi. Beliau seperti "ayah" dari pengamen-pengamen perempatan Simpang. Ia memiliki rumah sebenarnya, tetapi ia memilih lebih sering menghabiskan waktu di Baksil, memeberi keterampilan seni musik ke pengamen-pengamen ini. Kami disambut baik olehnya. Beliau banyak bercerita tentang Babakan Siliwangi, sebagai penghuni lama di tempat ini. Meskipun mungkin keadaan keuangannya terbilang sulit, tetapi ia memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sampai Ibu Ipah bisa kembali ke Garut, ia masik ikut menemani. Meskipun ia juga mencemaskan keadaan Ibu Ipah di Garut karena harus memulai dari 0 lagi di sana. Rumah Ibu Ipah di sana pasti sudah tak ada lagi. Menurutnya justru Ibu Ipah akan lebih aman berada di wilayah Baksil ini.

Mereka semua tinggal di sisa-sisa reruntuhan bangunan. Yang saya rasakan ketika masuk ke area itu adalah dingin dan sangat lembab. Padahal cuaca di luar sangat cerah, cenderung panas terik. Bayangkan bagaimana kesehatan paru-paru mereka?

Mereka tidur di dalam sini nih

Hawanya sangat dingin dan lembab

Keadaan ini tidak lalu kemudian membuat mereka memanfaatkan lahan Baksil ini untuk perut mereka. Untuk orang-orang mungkin akan mengambil puing-puing bangunan dan sisa-sisa seperti paku dan lain-lain untuk kemudian dijual. Tetapi tidak untuk mereka. Bahkan mereka tidak mengambil keuntungan sedikit pun di lahan Baksil ini. Mereka cenderung malah banyak merapikan dan membersihkan lahan ini. Sesekali menyapu dan merapikan agar tampak sedikit rapi. Justru mereka malah mencari mata pencaharian di luar. Baksil hanya menjadi tempat mereka berteduh.

Apa yang dilakukan Kang Budi dengan mengajarkan dan mengasuh pengamen-pengamen Simpang justru malah memberi "kehidupan". Percaya tidak percaya, mereka semua berhati baik dan tidak macam-macam lho. Kalau macam-macam pasti bukan begini cara Kang Budi bercerita. Ia benar-benar mau berbagi informasi yang ia miliki, tanpa mengharapkan bantuan apapun dari pendengarnya. Hal ini semakin membuat saya dan teman-teman ingin melakukan sesuatu.

Sisa-sisa bangunan berbahan dasar beton ini belum sempat dipugar. Rencananya sehari setelah saya ke sana itu akan dilakukan tindakan selanjutnya ke bangunan-bangunan ini. Saya hanya berharap pekerja-pekerja seni jalanan ini mendapatkan tempat dan penghidupan yang layak.

Untuk Ibu Ipah dan keluarga, semoga bisa mendapat kehidupan lebih baik di Garut sana ya, Bu :)

1 komentar:

  1. it's a blogwalking :)
    Jadi ingin ke babakan siliwangi u.u miris sekali membacanya :'(

    BalasHapus