Akhirnya mendapat kesempatan menelusuri Sungai Cikapundung! Cikapundung sekarang sedang berusaha dipercantik dan dialihfungsikan sebagaimana mestinya oleh warga Bandung. Terutama beberapa komunitas dan warga yang punya kepedulian lebih pada sungai ini.
Ceritanya di Sabtu pagi yang cerah tanggal 1 Oktober kemarin, dalam salah satu rangkaian Semud (Sekolah Ijo Muda) yang merupakan rangkaian kaderisasi U-Green ITB. Kami berpetualang menyusuri bantaran Sungai Cikapundung dari Curug (Air terjun) Dago hingga tembusnya ke Cisitu.
Aksesnya tidak sulit, cukup naik angkot Kelapa-Dago, turun di terminal Dago kemudian jalan sedikit sampai menemukan belokan turunan tajam ke bawah. Nanti jalan turuun saja ke bawah dan masuk ke jalan kecil berplang "Prasasti Curug Dago". Jalan setapak ini dibatasi tembok di sebelah kiri dan jurang kecil di sisi kanan. Dalam perjalanan saya menemukan ada sekolah alam di sini. Hmm menarik sepertinya!
Jangan jalan keterusan, ketika menemukan jalan turunan ke bawah di sisi kanan, belok lah ke situ. Nah dari situlah kami memulai perjalanan kami. Peserta angkatan 2011 kami berikan tugas untuk mengobservasi dan nantinya akan mewawancarai warga di pemukiman yang kami lewati. Dari tempat ini kami melewati jembatan yang bisa kami lihat di bagian bawahnya adalah aliran sungai yang deras dengan beberapa air terjun. Daan.. ujung-ujungnya tetap ada tumpukan sampah. Berarti sampah ini memang sudah dari hulu, kawan-kawan!
Jalur yang dilewati tidak terlalu sulit, kami tidak selalu berada di tepi sungai. Terkadang melewati permukiman, perumahan elit, sampai sawah yang ada kerbau bajaknya! (saya baru pertama kali lihat kerbau membajak sawah. Hahahaha. Dasar kasihan orang kota).
Kami sempat berhenti di suatu permukiman, di mana kami bisa turun ke sungainya langsung. Selama menunggu peserta 2011 dan kakak pendampingnya berkeliling, saya dan teman-teman bersantai di pinggir sungai. Sayangnya sungai ini juga lagi-lagi tidak bersih dari sampah. Tapi sepertinya itu bukan masalah besar bagi anak-anak di perkampungan ini. Segerombolan anak laki-laki asyik bercanda dan berenang di situ. Di sisi kanan sungai terdapat pipa berkarat yang besar sekali. Diameternya kira-kira sebesar 1 meter. Karena airnya coklat dan terdapat banyak sampah, saya memilih untuk duduk saja di atas batu.
Perjalanan kami lanjutkan lagi. Dengan sedikit menanjak dan melewati padang rumput, kami sampai juga di lokasi penanaman pohon. Lokasi ini dikelola dan dirawat oleh komunitas CRP (Cikapundung Rehabilitation Program). CRP telah berdiri selama 3 tahun. Saya telah mengetahui komunitas ini sebelumnya, tapi ini kali pertama saya mengunjungi langsung ke lapangannya.
Sebelum mulai menanam pohon, kami diberikan kuliah singkat dari tim CRP sambil beristirahat duduk di bawah pohon rindang. Diskusi diawali oleh Abang Te-er yang berbagi pesan singkat untuk kami :
"Meskipun berasal dari beda kota, tapi kalian akan lama tinggal di Bandung. Mari wujudkan sungai bersih, hutan hijau pohonnya, dan kita wujudkan bersama-sama"
Kang Rohim sebagai pupuhu (ketua dalam bahasa sunda) dari CRP pun bercerita sambil membagi semangat. Meskipun sempat beberapa kali mengeluhkan sambil menunjuk bangunan rumah susun yang sedang dibangun ITB tak jauh dari situ. Beberapa program CRP bersama komunitas lain adalah :
- Menanam dan merawat pohon
- Pokja, yaitu memperbaiki alur sungai dari batu berbahaya untuk jalur kukuyaan (semacam body rafting dengan ban), rafting, dan jelajah sungai
Yang selalu ditekankan Kang Rohim adalah :
"Tumbuhkan jiwa naturalis sejak remaja, jangan sampai idealisme itu hilang ketika dewasa"
Asik mendengarkan cerita Kang Rohim, kami pun lalu digiring untuk langsung menanam pohon yang telah kami pesan sebelumnya. Untuk informasi, kita dapat membeli bibit pohon dan menanamnya di lahan ini, kemudian membayar sejumlah uang untuk biaya perawatan yang dilakukan oleh CRP. Saya sibuk mendokumentasikan saja sementara anak-anak 2011 asyik menggali-gali, memasukan benih, dan menyirami pohonnya.
Panas yang terik tidak menyurutkan semangat anak-anak dan panitia. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang dan matahari benar-benar di atas kepala. Kami me review sedikit tentang materi hari itu, yang juga didiskusikan bersama tiap kelompok.
Pada saat yang sama saya mengobrol dengan Kang Soleh, salah satu pegiat komunitas Bagasi (Barudak Gang Siliwangi). Beliau rupanya adalah salah satu petugas Proses Pengolahan Sampah (PPS) Sabuga. Ia banyak berkeluh kesah dan mengecam keberadaan insinerator ITB itu karena gas yang dihasilkan sampai ke rumahnya di daerah Taman Sari. Ada emosi dan harapan dari pembicaraan ini. Ia sangat berharap pada kami sebagai mahasiswa yang memikirkan nasib warga sekitar ITB. Saya bahkan memilih tidak menyebutkan saya berasal dari jurusan Teknik Lingkungan, karena jurusan ini yang selalu disalahkan olehnya. Beberapa informasi saya catat sebagai referensi, tetapi beberapa fakta yang bisa menjadi bantahan saya karena saya tahu cerita lengkapnya di mata kuliah Pengelolaan sampah, saya tahan saja. Mendengar keluhan-keluhan ini ternyata cukup pelik.
Tak berapa lama kami pamit pulang. Hanya dibutuhkan sedikit waktu untuk berjalan ke gerbang menuju jalan umum. Kemudian kami menyusuri gang di daerah Cisitu, dan sampailah kami di daerah permukiman.
Badan basah karena keringat, otak juga cukup berkeringat mendengar wawasan baru, masalah baru. :) Lalu setelah tahu, mau bertindak apa?
wew gw baru tau kalo masalah si asap insinerator tuh. hmmm enaknya dibahas dimana ya?
BalasHapusiya nih kak, butuh data2 valid juga tapi. agak pelik juga kalo liat kondisinya. anak keprof magang keprof salah satunya dikasih tugas cari tau tentang itu kak :)
BalasHapuskakk saya dari U-Green jaman sekarang, boleh minta kontaknya?
BalasHapus