Kamis, 01 Maret 2012

Jelajah (lagi) Hutan Babakan Siliwangi!

Sabtu, 25 Februari 2012
10.00 WIB

Untuk kesekian kalinya, saya dan teman-teman bermain lagi dan menghabiskan setengah hari di Babakan Siliwangi. Siapa bilang kita tidak bisa melakukan hal yang sama dengan Nobita dan teman-temannya di film Doraemon? Kalau mereka punya bukit belakang sekolah, kami punya bukit belakang kampus :)


Judulnya adalah "diskusi dan makan siang bareng warga Baksil". Diwadahi Ganesha Hijau (GH), kami semua berkumpul di Sanggar Olah Seni Baksil pukul 10 pagi. Saya sampai di lokasi agak terlambat, dan ternyata baru ada pentolan GH di sana, Aldi dan Naufal. Kemudian lama kelamaan satu persatu mulai datang. Sambil menunggu semuanya hadir, kami berbincang santai.

Tujuan obrolan pada hari ini adalah sebagai sebuah tindak lanjut dalam mempertahankan Baksil sebagai hutan kota, dengan ide yang disepakati oleh kami dan warga Baksil. Yang hadir pada hari ini adalah Kang Tomi sebagai pengelola sanggar, Kang Dinan & Kang Gin-Gin dari Kasundanan, dan Ibu Badriah yang akrab dipanggil Ambu dari pihak budayawan.

Kang Tomi (Dok. Wilma)

Awalnya Kang Tomi memberi kisah sedikit tentang Batu Satangtung, yang baru-baru ini telah "dikawinkan". Saya sempat bercerita sedikit tentang batu ini sebelum dikawinkan. Artikel tentang batu ini bisa dilihat di sini. Batu Lingga Yoni ini bukan sembarangan diletakkan, tetapi telah melalui perhitungan dan kesepakatan para ahli metafisika, budayawan, astronomi, sampai dukun santet. Titik tersebut telah melengkapi tiga elemen Sunda (yang kalau saya tidak salah), yaitu :

Karasian
(ritual)
Karatuan (kerajaan)
Karamaan (rakyat)

Ketiga elemen ini ditafsirkan sebagai hutan, air, dan saung. Ritual yang dilakukan di batu tersebut tidak menjurus pada satu agama. Semuanya tetap dengan agamanya masing-masing, dengan caranya sendiri-sendiri.

Batu Satangtung

Sebelum berdiskusi lebih lanjut, kami diajak berkeliling lagi. Di bagian depan tertancap kayu bonggol berdiameter sekitar 20 cm yang konon menjadi respon batu Lingga yoni dan pintu masuk ke dalam hutan. Bermodalkan sendal jepit licin sebagai alas kaki, dengan bersemangat saya masuk ke dalam hutan. Baru berjalan sedikit dan sempat beberapa kali hampir terpeleset, saya akhirnya jatuh juga. Ha ha ha.


ayo menjelajah! (Dok. Wilma)

Setelah melewati serunya sulur-sulur akar gantung, kami sampai juga di mata air. Mata air ini dijaga oleh sang juru kunci, Mas Sardi namanya. Mata air ini sempat disucikan dan dibersihkan pada rangkaian pengawinan batu. Rencana ke depannya akan diletakkan patung Dewa Wisnu, dan lokasi ini menjadi salah satu rangkaian tempat ritual selain batu satangtung. Saya sempat membersihkan kotornya tanah di kaki dan tangan saya ketika jatuh tadi. Segaar! :)

Fahma sang geologis mengecek keadaan mata air (Dok. Aldi)

mata air (Dok. Wilma)

Kang Tomi menunjukkan beberapa buah yang bisa kami santap di hutan baksil ini. Dasar orang kota, kami selalu memberi ekspresi berlebihan ketika menemukan buah baru dan bersemangat sekali mencicipinya. Pertama adalah buah yang disebut Kang Tomi sebagai buah baseball, karena bentuknya yang seperti bola baseball. Seperti delima, tetapi saya tetap tidak tahu namanya. Teman saya Lala terus menikmati buah ini selama perjalanan sampai habis. Hehehe. Kemudian ada lagi buah pukem yang katanya sebagai buah obat. Saya tidak sempat mencicipinya. Wilma menarik perhatian beberapa dari kami dengan buah-buah kecil yang kalau dihancurkan warnanya seperti darah. Terakhir, kami disibukan dengan buah kemiri yang rasanya agak berbeda dari kemiri yang dijual di pasaran.


Buah baseball (Dok. Wilma)

Lala (bawah) yang asik menyantap buah (Dok. Aldi)

Buah pukem (Dok. Wilma)

(Dok. Aldi)
buah kemiri (Dok. Wilma)

buah darah? (saya kurang tahu namanya) (Dok. Wilma)

Di tengah jalan kami ditunjukkan pohon flamboyan yang roboh dan merobohkan pohon lainnya, seperti efek domino. Setelah kami cek di sisi lainnya, ternyata pohon ini isinya kopong (kosong). Saya dan Agni bahkan berhasil masuk ke dalam pohon kopong ini! Di bawah jembatan kami menemukan kegagalan kosntruksi jembatan forest walk yang berakibat hancurnya saluran di bawahnya. Saya tidak heran sih, karena pembuatan jembatan ini seperti cerita Roro Jonggrang yang pembuatannya semalam saja. Mungkin beberapa perhitungan tidak sesuai, atau bahkan tidak diperhitungkan sama sekali. Saya agak khawatir selanjutnya akan roboh juga jembatan ini dan mencelakai orang di atasnya. Ada efek sosial lain yang ditimbulkan oleh keberadaan forest walk ini, yaitu kecenderungan orang membuang sampah ke bawah jembatan alias ke hutan meningkat, dan beberapa kali telah terjadi perbuatan tidak senonoh laki-laki dan perempuan di sini. Hiiii.

Pohon-pohon yang roboh (Dok. Wilma)

Pohon flamboyan yang kopong (Dok. Aldi)

Kerusakan akibat konstruksi jembatan (Dok. Wilma)

Sekembalinya ke sanggar, kami lanjutkan diskusi sambil menyantap nasi kuning. Tindakan yang berencana akan kami lakukan adalah pertama-tama soal mata air. Mengapa mulai dari air? Karena pada hakikatnya air adalah sumber kehidupan manusia. Ide besarnya adalah Baksil bisa menjadi tempat publik yang bisa dinikmati banyak orang. Untuk persoalan mata air, atas ide kolaborasi Agni dari Teknik Lingkungan dan Rinda dari Biologi, lahirnya ide penerapan teknik fitoremediasi, yaitu memperbaiki kualitas air di kubangan air limbah dengan tumbuh-tumbuhan khusus yang alami. Hal ini ternyata sejalan dengan ide Kang Tomi dan kawan-kawan untuk menjadikan mata air tersebut disucikan dan dijaga melalui nilai-nilai ritual, alam, dan budaya. Kami sepakat untuk tidak banyak merubah keadaan mata air, hanya saja memperbaiki segi estetis dan fungsinya. Hmmm budaya, alam, dan teknologi yang melebur jadi satu. Menarik :)

ruang diskusi (Dok. Aldi)

Mimpi besarnya adalah menjadikan Baksil sebagai hutan wisata budaya dan alam yang bisa dinikmati warga kota Bandung sebagai ruang terbuka hijau publik. Dan lebih baik lagi jika mahasiswa ITB bisa berkarya di sini, tempat ini bisa menjadi sarana edukasi yang turun temurun. Hal ini juga disepakati Ambu.

"Kalau sudah berani berkarya, baru boleh mengkritisi. Jangan belum buat apa-apa sudah mengkritisi terus"

Ini baru awalan. Kami telah mencapai kesepakatan kecil untuk langkah awal dalam menjaga keberadaan dan fungsi hutan kota ini di Bandung. Babakan Siliwangi adalah aset yang harus dijaga bersama-sama. Tunggu cerita selanjutnya ya! :)


*) Pada jalan-jalan ini saya lupa membawa kamera pribadi saya.
Terima kasih untuk Ronaldiaz Hartantyo dan Wilma Zulianti atas dokumentasi foto-fotonya! :)

1 komentar: