21 Juni 2012
Setelah berkeringat dari perjalanan cukup jauh ke mata air Cihantap dengan Pak Wahyu, saya putuskan untuk istirahat sebentar di Kantor Balai Desa. Saya pun tenggelam dalam obrolan ngalor ngidul dengan Pak Wahyu, Pak Ajat, Pak Firdaus, dan Pak Dede ditemani segelas air putih.
Cidugaleun. Asal muasal katanya dari Kedugalan, yang artinya adalah kekuatan. Ya, desa ini terkenal dengan orang-orang berilmu di dalamnya, dengan kekuatan tak tertandingi. Tidak bisa dipandang secara akal sehat. Ilmu-ilmu itu dimiliki oleh para leluhur. Macam-macam jenisnya. Ada yang bisa menggunakan betisnya sebagai penggantu kayu bakar, punya kemampuan pelet, sampai ada pula yang mendapat julukan Sangkuriangnya Cidugaleun, karena bisa menggarap berhektar-hektar sawah tengah malam seorang diri.
Ternyata hal ini tidak asing lagi di telinga penikmat ilmu-ilmu tersebut untuk kepentingan duniawi. Tak jarang pendatang melancong ke Cidugaleun untuk kepentingan jodoh, harta, dan kedudukan. Orang Banten yang hendak menaikan ilmu, pasti ke desa ini dan menginap sampai 4 hari 4 malam. Hanya saja, kabarnya kemampuan ini tidak bisa dinikmati warga Cidugaleun sendiri.
Alkisah namanya Mahdugal Kawasa. Seorang wanita yang cantiknya bukan main. Konon panjang rambutnya lebih dari 10 meter panjangnya. Kabarnya ia adalah salah satu dari penyebar agama Islam di Pulau Jawa, di luar dari yang sering kita dengar, Wali Songo. Meskipun perempuan, kekuatannya bukan main. Banyak sekali yang mau meminangnya, hanya saja terlalu banyak halangan yang menjadikan peminang bahkan tidak bisa menginjakan kaki di tanah Cidugaleun. Yang terkuat adalah Burangrang, itu pun belum sampai benar-benar bertemu dengan Mahdugal.
Hal ini menjadi salah satu kepercayaan masyarakat Cidugaleun, bahwa memanjangkan rambut bagi wanita seperti diharamkan. Selain itu seperti menjadi semacam sumpah, bahwa tidak ada satu pun warga Cidugaleun yang berparas cantik atau tampan. Tetapi ketika mereka keluar dari desa ini, katanya sih ada sesuatu yang menarik dari diri mereka.
Ada lagi sebuah kepercayaan Sunda, yang kabarnya menjadi salah satu sumpah Mahdugal, bahwa rumah yang dibangun tidak diperbolehkan dengan tembok. Kalau tidak, akan kelaparan. Logisnya, ya ketika lahan sawah diambil alih untuk lahan tempat tinggal yang bertembok, bukan dengan rumah panggung, maka otomatis lahan tersebut tidak bisa digunakan untuk menghasilkan padi.
Pak Firdaus menyebut-nyebut sebuah naskah ejaan Sunda kuno di rumah Pak Endang si kepala dusun, sekaligus juru kunci makam. Saya pun dibuat tertarik. Wah, mengetahui cerita sejarah dibalik tempat yang saya tinggali, rasanya seperti menemukan harta karun!
Sore harinya setelah Ashar, saya ke rumah Pak Wahyu. Secara kebetulan tak lama saya sampai, Pak Endang datang. Setelah diceritakan oleh Pak Wahyu, maka Pak Endang pun memboyong saya, Pak Wahyu, dan Teh Deuis mengunjungi makam Mahdugal dan ke rumahnya.
Salah satu jalan yang kami lewati |
Posisinya di Kampung Babakan. Kami harus melewati pematang sawah. Akhirnya sampai juga di hutan kecil tengah sawah. Makam di sana-sini. Hawanya beda. Ketika memasuki hutan itu, rasanya dingin. Jalannya berbatu dan berlumut. Sampailah kami di depan pagar sederhana yang ditutupi potongan tangkai bambu. Setelah menghentakkan kaki tiga kali, Pak Endang membuka pagar dan masuk.
Pintu masuk ke kompleks pemakaman. Siap-siap dengan hawa yang berbeda |
Sedikit mendaki jalan berlumut menuju makam Mahdugal |
Kompleks makam Mahdugal seluas sekitar 4x3 meter. Saya minta izin mengambil gambar dan diperbolehkan oleh sang juru kunci. Setelah itu tidak sampai 5 menit, kami keluar lagi. Tidak perlu berlama-lama. Langit juga sudah mulai gelap.
Pintu depan. Sang kuncen menghentakkan kaki tiga kali sebelum masuk |
Makam Mahdugal Kawasa di sisi kanan |
Kemudian saya ikuti lagi Pak Endang menuju kediamannya. Rumah panggung sederhana dengan pemandangan sawah terbentang. Jarak antar rumah berjauhan. Di dekatnya ada makam leluhur Pak Endang, juru kunci yang terdahulu.
Sambil menunggu Pak Endang menunaikan shalat Ashar, kami disuguhi teh hangat. Beliau keluar kamar membawa naskah yang saya maksud, dan di tangan satunya ada pula kantong yang berisi beberapa barang pusaka. Wah. Saya sangat bersemangat!
Naskah itu bentuknya seperti buku tulis biasa yang warnanya sudah kekuningan. Ditulis pada era penjajahan Belanda. Bukan dengan aksara sunda, hanya saja ejaannya masih ejaan lama dengan bahasa Sunda yang sangat halus. Ketika saya mengutarakan maksud saya untuk mengetahui isi naskah tersebut di balai desa tadi siang, Pak Firdaus bertanya balik ke saya. "Bener mau tau, Neng? Nanti takut lho".
Sambil menunggu Pak Endang menunaikan shalat Ashar, kami disuguhi teh hangat. Beliau keluar kamar membawa naskah yang saya maksud, dan di tangan satunya ada pula kantong yang berisi beberapa barang pusaka. Wah. Saya sangat bersemangat!
Naskah itu bentuknya seperti buku tulis biasa yang warnanya sudah kekuningan. Ditulis pada era penjajahan Belanda. Bukan dengan aksara sunda, hanya saja ejaannya masih ejaan lama dengan bahasa Sunda yang sangat halus. Ketika saya mengutarakan maksud saya untuk mengetahui isi naskah tersebut di balai desa tadi siang, Pak Firdaus bertanya balik ke saya. "Bener mau tau, Neng? Nanti takut lho".
Kabarnya isi naskah tersebut adalah tentang pembagian zaman di dunia. Bukan hanya Sunda, bukan hanya Indonesia. Tapi dunia. Pak Endang menjanjikan pada saya untuk mengabarin saya jika naskah tersebut sudah diterjemahkan dan diketik ulang dengan bantuan Pak Firdaus. Saya penasaran, tetapi tidak kekeuh untuk harus tahu. Jadi saya tanggapi dengan santai.
Naskah dengan ejaan sunda kuno |
Pusaka turun temurun |
Setelah itu saya sibuk melihat-lihat benda pusaka yang ditunjukkan Pak Endang sampai tak sadar langit memang sudah benar-benar mau gelap. Jalan pulang yang akan kami tempuh tidak berlampu, akan gelap gulita di tengah pematang sawah. Maka saya, Pak Wahyu, dan Teh Deuis undur diri.
Wuaaaaaaaaah, hari ini seru sekali! :)