Jumat, 20 Juli 2012

Ketika Urusan ke Belakang Menjadi Terbelakang


Setelah menikmati fasilitas sederhana kamar mandi milik keluarga Pak Agan di Desa Ponggang, Subang, ternyata saya salah ekspektasi untuk lokasi kerja praktek kedua saya di Desa Cidugaleun, Tasikmalaya. Saya pikir paling tidak saya akan merasakan fasilitas yang serupa, atau mungkin lebih baik.

Saya tidur di tempat mertua salah satu aparat desa yang aktif juga di program Pamsimas Desa Cidugaleun. Namanya Bu Dedeh. Cerita tentang keluarga ini akan saya ceritakan lebih mendetil lagi nantinya. Satu hal yang membuat saya agak kebingungan di rumah ini, ketika saya perlu ke belakang alias kamar mandi.

Rani : "Bu, punten bade wudhu ka mana ya, Bu?" (dengan bahasa Sunda pas-pasan)
Bu Dedeh : "Mangga di sini neng" sambil menunjuk pintu di sudut yang gelap.

Saya buka... dan hanya ada bak mandi di sisi kiri, dilengkapi dengan baskom besar di lantai. Mana klosetnya? Perasaan saya mulai tidak enak. Ada pintu lagi di sebelah kanan saya. Saya berharap ada benda berlubang alias kloset di sana. Hore ada secercah harapan! Saya buka dan di hadapan saya hanya ada air yang terus mengalir ke bak, yang dari bak tersebut dialirkan lagi air ke ember dan luapan air dari ember tersebut di bawahnya terdapat semacam selokan panjang dengan lebar sekitar 10 cm. Arah alirannya ke kolam di belakangnya.

Nggak mungkin di sini.

Setelah wudhu dan menunaikan shalat Ashar, saya iseng bertanya ke Bu Dedeh, di mana tempat buang airnya.

Bu Dedeh : "Ya di situ bisa, Neng"

Saya hanya senyum-senyum. Mencoba ke sana lagi, celingak celinguk dan mencoba mencerna. Saya tidak mungkin mengeluh dan tiba-tiba minta pindah rumah. 

Sebelum Pak Warman pulang, beliau seperti bisa membaca pikiran saya. Ia meminta maaf karena rumah Bu Dedeh adalah salah satu yang belum memasang septic tank dan jamban saniter. Ia menjanjikan pada saya untuk bisa menggunakan toliet di balai desa. Saya pikir wah lumayan juga harus jalan jauh untuk buang air. Karena tidak mau membuat keadaan lebih tidak enak lagi, saya tidak banyak complain.

Seperti biasa, saya pasti menjalani ritual mandi hari pertama di tempat baru dengan makan waktu yang lebih lama. Sibuk mempelajari seluk beluk dan "sudut aman"nya. Si kamar mandi ini berjendela, tetapi lebih cocok dikatakan dindingnya berlubang persegi panjang dengan mengarah langsung ke luar. Ya tetap bisa disebut kamar mandi pribadi sih.  Pemandangan dari jendelanya adalah kandang ayam, kolam, dan rumah tetangga sebelah. Kalau berdiri sebenarnya tetap aman, cuma karena saya agak parno, saya ambil posisi aman saja deh. Berjongkok. Lagi-lagi harus mandi sambil jongkok setelah pengalaman saya yang serupa di Desa Ponggang. Pada saat seperti ini saya sangat bersyukur dan memandang sebuah kamar mandi yang nyaman adalah barang mewah! Terima kasih ya Allah!

Di sisi kiri, itu yang namanya pacilingan

Pemandangan dari jendela kamar mandi

Jadi begitulah sebagian besar kebiasaan warga Desa Cidugaleun. Mengandalkan kolam-kolam pribadi, bahkan tetangganya untuk menjadi tempat penyalur buangan kakus. Sebelum tahun 2009 ketika diberi penyadaran mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat dan didekatkan akses airnya, hampir semua warganya buang air di pacilingan atau pancuran, semacam gubuk kecil di atas kolam. 

Salah satu pacilingan yang telah dibongkar dan tidak lagi digunakan

Saat ini warganya sudah mengalami peningkatan pesat. Sebagian orang telah tersadarkan untuk membuat jamban yang saniter. Bayangkan saja dulunya ketika sebagian besar orang buang air di atas kolam, yang kemudian airnya mengalir ke selokan dan jatuhnya ke sungai. Belum lagi ketika akses air bersih masih jauh, masyarakat mengambil air dari selokan yang sama! Kelihatannya jernih memang air selokannya. Mengalirnya dari gunung. Tetapi ketika semua buangan mengalir ke sana dan digunakan oleh orang di bawahnya, terbayang kan bagaimana kondisi airnya? Terbukti dengan banyaknya kasus diare dan penyakit kulit pada masa itu.

"Kan jadi makanan ikan?"

Warga banyak yang merasa tidak bermasalah dengan kondisi buang airnya yang seperti itu, karena kotoran yang dikeluarkan akan langsung lenyap dilahap ikan. Mereka tidak menyadari bahaya dan efeknya untuk keluarganya, juga untuk orang-orang di lingkungannya. Seperti efek domino. Posisi Desa Cidugaleun merupakan desa dengan elevasi tertinggi jika dibandingkan dengan desa lain di Tasikmalaya. Sungai ini mengalir ke seluruh wilayah di Kabupaten Tasikmalaya. Jadi memang sudah seharusnya diperbaiki dari hulunya, yaitu desa ini. Ketika diposisikan di zaman dahulu ketika penduduk masih sedikit, mungkin hal ini tidak menjadi masalah yang signifikan. Tetapi ketika kepadatan semakin meningkat, apakah akan terus begini?

Kondisi ini saya pandang sangat memprihatinkan. Mengingat bukan selalu persoalan uang yang jadi kendala penyediaan sarana sanitasi yang layak. Tetapi kesadaran si masyarakat itu sendiri. Jangan terlalu berharap banyak ketika melihat fisik luar sebuah rumah dan interior di dalamnya seperti orang berpunya. Tetapi coba lihat ke kamar mandi dan bagian dapur. Apakah sesuai?

Yang penting adalah apa yang terlihat orang lain. 

Ya mungkin itu juga yang jadi salah satu perkaranya. Fenomena ini bukan asing lagi di mata saya. Sebagian besar masyarakat kita masih berpola pikir seperti ini. Yang di belakang, juga jadi urusan belakangan. Padahal justru tempat-tempat itulah jadi tempat kelahiran si bakal penyakit.

Itu pandangan dan opini dari apa yang saya amati. Ketika urusan ke belakang menjadi terbelakang.

Ini kali pertama saya tinggal di tempat yang belum terfasilitasi jamban yang saniter.Ya, menjadi PR besar untuk saya. Untuk selanjutnya, untuk mendalami jenis pekerjaan ini akan tidak asing lagi menemukan hal-hal seperti ini. Ini tantangan! 


Kembali ke kisah saya di Desa Cidugaleun..

Menjalani hari demi hari di desa ini, akhirnya saya agak terbiasa. Makhluk hidup memang diciptakan untuk bisa beradaptasi. Hehe. Belakangan agak menikmati juga bisa memandang langit dan pemandangan di luar sambil berkegiatan kamar mandi. Hahaha. Apalagi di hari keduanya ada pemandangan baru, burung elang peliharaan Budi, anak ketiga dari Bu Dedeh, bertengger di atap kandang ayam. Meskipun ada rasa bersalah saya karena buang air di tempat ini, tapi ya mau bagaimana lagi. Hanya satu hal yang mempengaruhi, saya enggan menyantap ikan buatan Ibu Dedeh. 

Darimana ikannya?? Dari kolaaam. 
Ikannya makan apa?? Ya... jawab sendiri ya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar