Selasa, 27 Desember 2011

Ajakan "bermain" di toko antik

Masih ingat posting saya tentang Papermoon Puppet Theater bulan januari lalu? Coba intip di sini untuk mengingat kembali. Pertunjukan ini yang menjadi pemicu kuat saya untuk jauh-jauh ke kota Jogja. Pemesanan tiket dilakukan jauh-jauh hari. Jadwal mainnya dari tanggal 15 sampai 22 Desember. Akhirnya setelah mengepaskan tanggal dan mendapat teman menonton, saya langsung keluarkan 120 ribu untuk 4 tiket dan berangkat ke stasiun membeli tiket kereta untuk tanggal 21 Desember.

Saya dicarikan tempat menginap oleh Mbak Mita yang tempatnya tidak jauh dari tempat "janjian" menonton. Kenapa janjian? Bukan langsung lokasi menontonnya? Nah ini dia nih yang asik. Sebelum sampai ke wisma tempat istirahat kami, kami sempat melewati Kedai Kebun Forum. Oh ini dia nih lokasi yang ditulis di bukti pembayaran tiket. Pertunjukan dimulainya pukul 8 malam, dan kami harus standby dari pukul 7.30. Sampai di Kedai Kebun, kami diminta menunggu, katanya nanti ada bis yang akan mengantar kami. Bis? Kami mau dibawa ke mana? Lagi-lagi saya dibuat penasaran ketika membaca-baca booklet yang dibagikan sambil menunggu. Saya baca bagian jajaran crew. Ada posisi pemandu wisata? Memangnya kita mau dibawa ke mana?

Kira-kira pukul 8 lebih sedikit rombongan yang menonton pukul 6 sore kembali ke Kedai Kebun. Kami dibagikan tanda untuk dikalungkan di leher, dan digiring ke bis mini. Wah! Saya sangat bersemangat! Mau dibawa ke mana ya? Akal-akalan sok tau saya berpikir akan dibawa ke tempat yang masih ada di gang yang sama, Tirtodipuran. Hanya ada sekitar belasan penonton 1 kloter. Kami semua dijejali masuk bis. Mas Wulang Sunu sebagai pemandu wisata bergelantung di pintu bis sambil mengoceh dengan toa di tangan kirinya. Ia bercerita tentang beberapa gedung yang kami lewati, tapi lebih banyak melawaknya. Saya dan rombongan lain dibuat tersenyum senyum geli.

Ini dia bis yang memboyong kami sampai tempat pementasan, dikendarai oleh Pak Sigit namanya

Mas pemandu wisata yang terus berceloteh sepanjang perjalanan

Setelah melewati pasar telo (telo itu ketela, sejenis singkong), bis diberhentikan di depan toko antik. Kami diajak untuk mampir membeli oleh-oleh. Rombongan disambut pemilik toko. Setelah melihat-lihat di bagian depan, kami diajak ke gudang bagian dalam. Sebelum masuk, kami diberi pesan untuk tidak mengambil foto, karena katanya barang-barang di situ adalah koleksi penting. Dan pintu pun dibuka. Di sisi kanan pintu tertata rapi sejumlah barang antik yang disusun bertumpukan. Si pemilik toko masih berceloteh dan mempersilakan kami duduk di kursi yang menghadap ke barang-barang itu. Tiba-tiba lampu mati. Si pemilik toko bersikap bingung dan pamit ke belakang untuk mengecek. Jantung saya berdebar-debar saking tidak sabarnya! Ini seru sekaliiii! :D

Suasana di bagian depan toko antik

Dan benar saja! Tiba-tiba lampu menyala dan boneka-boneka beserta pemainnya sudah ada di antara barang-barang antik itu. Alunan musik lawas mengiringinya.Kisahnya sederhana. Tentang kisah cinta seorang pemuda yang sempat kehilangan kewarganegaraannya paska peristiwa G30S PKI, karena mendapat kehormatan dikirim tugas belajar ke Rusia oleh Presiden Soekarno. Sebelum keberangkatannya ke Rusia, ia telah berjanji untuk menikahi kekasihnya di tanah air. Karena sedang berada di negara komunis saat peristiwa G30S PKI, paspornya dicabut oleh pemerintah orde baru. Selama 40 tahun ia tidak dapat menghubungi kekasih dan keluarganya. Selama itu pula ia tetap memegang teguh janjinya pada kekasihnya. Dan ternyata pria ini masih hidup hingga saat ini, Pak Wi namanya. Sedangkan wanita yang dulu kekasihnya saat ini telah berkeluarga dan memiliki 4 orang cucu. Mbak Ria, konseptor, artistic director, art director, sekaligus pemain ternyata berhasil bertemu dengan Pak Wi di dunia maya. Memang kehebatan teknologi zaman sekarang! :) Pria kelahiran 1940 ini sekarang masih tidak menikah, dan bekerjan sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.

"Karena cinta itu masih ada..."

Dan ini dia pementasan "Setjangkir Kopi Dari Plaja"

Segalanya detail sekali. Boneka yang digunakan berjumlah 5 buah. Sepasang Pak Wi & kekasih di kala muda dan sepasang di kala tua. Satu lagi adalah pria yang akhirnya menikahi kekasih Pak Wi. Pemain boneka kali ini dalam tampilan beda. Di pementasan sebelumnya, kostumnya hitam-hitam, sehingga tidak masuk dalam cerita. Sedangkan kali ini beda. Pakaian yang dikenakan sesuai dengan temanya yang lawas, kemudian disesuaikan dengan kondisi boneka. Ketika sudah tua, pemain laki-laki ikut menggunakan kacamata, sedangkan pemain perempuan menggunakan slayer yang diikat di leher. Rasanya lebih menyatu.

Pak Wi dan kekasih di kala muda

Pak Wi dan kekasih di kala tua
Boneka kecil digunakan untuk menggambarkan isi ingatan. Ada adegan flash back di sana. Aaah detail sekaliii. Kemudian artistiknya saya suka sekali! Dalam hal ini tidak perlu berganti latar. Hanya berpindah posisi dan permainan lampu, maka kita akan terseret dalam lokasi yang berbeda. Contohnya saja ketika adegan bepergian, dilakukan di atas koper-koper tua yang bertumpuk. Dan semua barang itu tidak hanya sebagai pajangan saja. Semua digunakan. Bahkan lampu-lampu warna-warni yang ada di bagian atas yang tadinya saya pikir hanya sebagai pemanis, di satu adegan dapat diturunkan dan membawa penonton ke beda lokasi lagi! Setelah saya selidiki, menurunkan lampion-lampion ini adalah dengan cara sangat sederhana, yaitu dengan badan sepeda! Keinginan pementasan ini mengeksplorasi ruang saya acungi jempol. Selamat, kalian berhasiil! Aduh saya sampai kehabisan kata-kata. Dan cerita ini berhasil menyentuh saya. Membuat pandangan saya tidak lepas dari permainan ini. Ah keren sekali!

Boneka mini

Suasana panggung setelah pementasan

Usai menonton, semua penonton sempat berfoto-foto dan diwawancara oleh pihak Papermoon. Ada sajian wedang jahe dan gorengan juga di depan ruangan. Kami semua kembali ke bis dan diboyong lagi ke Kedai Kebun (meskipun si pemandu wisata sempat bilang kami akan dibawa ke tempat lain. Hahaha masih saja melawak). P
ementasan ini menyisakan banyak hal. Rasanya masih terasa sampai ketika saya menulis ini. Terima kasih untuk seluruh rangkaian pementasan ini! Mulai dari penjemputan, di dalam bis, toko antik, pementasan, dan pemulangannya, semuanya keren! :) Lagi-lagi salut untuk Papermoon!

Senin, 26 Desember 2011

Ketika Menari dilakukan di Tengah Pasar

Sebelum banyak mal dan pusat perbelanjaan berdiri dan buka tiap hari, pernahkah Anda berpikir bahwa kita belanja ke pasar sesuai hari pasaran (Jawa)? Belanja dan berkunjung ke pasar, dengan demikian tidak melulu kegiatan ekonomi bertahan hidup. Ia juga bagian dari keyakinan kita dalam melihat keselarasan gerak alam. (mengutip dari detail agenda acara Biennale XI)


Mengakhiri tahun 2011, saya berencana untuk kesekian kalinya ke kota favorit saya, Yogyakarta. Tujuan utamanya sebenarnya adalah menyaksikan pentas Papermoon Puppet Theater tanggal 21 Desember, tetapi ternyata selama di Jogja saya mendapat banyak bonus lebih!


Saya sudah tahu sebelumnya bahwa akan ada Festival Biennale Jogja XI yang masih berlangsung ketika saya sampai di Jogja, tetapi sayangnya kami minim informasi. Yang kami tahu hanya akan ada instalasi-instalasi yang dipasang di sejumlah lokasi di Jogja. Memang sudah berjodoh rupanya dengan acara ini. Ketika saya dan teman-teman asyik menunggu pementasan Papermoon di Kedai Kebun Forum, ada sejumlah pamflet dan brosur Biennale yang menarik perhatian kami. Kami langsung mengambil, mempelajarinya, dan membeli buku panduan festival ini seharga 5 ribu perak saja.

Dan acara ini menarik perhatian saya :

22 Desember 2011, pukul 07.00-10.00
Pasar dan Pasaran (umum dan gratis), Pasar Mangiran Bantul

Pertunjukan di tengah pasar? Menarik.

Esok paginya kami berangkat pukul 6.15 pagi dari wisma kami di Jalan Tirtodipuran. Tujuan kami Pasar Mangiran Bantul, sebelum pukul 07.00. Kami buta jalan. Berbekal tanya ke warga sekitar, akhirnya dengan harga ongkos 5000 perak kami menumpang bis Jogja-Bantul. Perjalanan cukup jauh ternyata. Semakin mendekati Bantul, yang kami lihat di kanan kiri jalan adalah sawah. Kenek bis yang kami naiki ternyata tau persis pertunjukan reyog yang akan tampil nanti. Tepat di depan Pasar Mangiran terdapat tenda besar yang dipasang di tengah lapangan.

"Pasar Mangiran!" kata kenek bis. Kami pun turun.

Setelah bertanya dengan warga setempat, kami mendapat informasi bahwa acara dimulai pukul 09.00. Hmm... kami kira kami akan terlambat.

Menunggu hingga pukul 09.00, kami memutuskan untuk berkeliling di Pasar Mangiran, sarapan sate sambil mengobrol dengan ibu-ibu penjual buah yang saya lupa namanya. Informasi yang saya dapat dari ibu ini, pertunjukan reog memang cukup sering dilakukan di desa ini. Wah, ini dia yang saya cari. Pertunjukan rakyat!

Pasar Mangiran hanya buka di hari-hari yang dianggap baik oleh masyarakat Jawa. Namanya hari pasaran, yang terdiri atas Hari Wage dan Pahing. Pertunjukan perkusi, jathilan, dan reog yang menjadi kebanggaan masyarakat Mangiran ditampilkan sebagai tanda syukur pada hari pasaran. Reog yang ditampilkan berbeda dengan reog yang sering kita lihat di Ponorogo. Bukan sisingaan, melainkan bentuknya mirip seperti wayang orang. Saya juga kurang paham mengapa disebutnya reog.

salah satu sudut Pasar Mangiran

Kenyang dengan sate lontong, bubur sum-sum, dan jamu tradisional, kami kembali ke lapangan pertunjukan. Penari-penari rupanya sudah mulai bersiap-siap. Iring-iringan perkusi sesekali berlatih sebelum turun ke jalan.

Pukul 09.00 tepat, penari-penari berkostum Butha (baca:butho) dan pemain perkusi mulai bergerak ke jalan, masuk ke pasar. Satu jam lamanya mereka menggerakkan badan seirama dengan perkusi. Seketika seluruh pandangan warga sekitar tertuju pada kekonyolan mereka, dibalik kostumnya yang menyeramkan. Saya pun beberapa kali tertawa dan tidak lelah mengikuti tingkah polah mereka. Di tengah teriknya matahari, mereka tetap asyik bergoyang. Di tengah pasar sesekali mereka mengambil buah jualan, lalu dimakan sendiri atau menyuapi teman-teman butha nya.




Kira-kira setelah 1 jam beraksi di dalam pasar dan jalan, pasukan ini kembali ke lapangan tenda. Tandanya pertunjukan reog akan dimulai. Sekeliling tenda telah dipenuhi masyarakat Desa Trimurti yang sudah tidak sabaran untuk menonton. Judul cerita reog yang akan dibawakan adalah "Lahirnya Gatotkaca".


Gerongan yang mengawali cerita

Pertunjukan ini bukan juga seperti drama-drama yang makan waktu lama. Diawali dengan iring-iringan musik sederhana dan meriah, masuklah 2 banjar tokoh-tokoh wayang orang dengan kostum lengkapnya. Gagah sekali.





Dan cerita pun dimulai. Tanpa dialog, hanya gerakan-gerakan yang menjadi simbolisasi tiap perkataan. Hanya saja kalau mau mengerti, kita perlu tahu pasti cerita dan tokoh-tokoh yang ada di kisah kelahiran Gatotkaca. Saya dan teman-teman hanya bisa menebak beberapa tokoh, dan sisanya kami kurang paham. Berawal dari Gatotkaca kecil yang masih dibawa oleh ibunya, kemudian mulai beranjak dewasa, berubah menjadi anak-anak berumur kira-kira 7 tahun. Gatotkaca kecil terlihat piawai dalam menari. Kemudian tumbuh lagi menjadi Gatotkaca dewasa yang akhirnya bisa mengalahkan si tokoh jahat.

Gatotkaca di waktu bayi

Gatotkaca cilik bertarung

Hingga dewasa masih tak terkalahkan

Cukup memakan waktu sekitar 1 jam, pertunjukan berakhir dan menyisakan kesan yang besar buat saya. Setelah usai pertunjukan, para pemain langsung meninggalkan arena. Sempat kami mencegat 2 pemain untuk berfoto bersama. Jam menunjukkan sekitar pukul 12 dan matahari semakin tinggi. Kami memutuskan untuk meninggalkan Bantul dan melanjutkan perjalanan kami. Terima kasih untuk sajian memukaunya! :)

Sabtu, 17 Desember 2011

Pasar Malam

Seumur-umur saya belum pernah ke pasar malam. Di dekat rumah saya sebenarnya ada, cuma saya selalu enggan untuk ke sana karena yang ada di bayangan saya adalah kurang aman.Padahal pasti menyenangkan dan banyak objek foto menarik.

Dan sekumpulan anak ITB pun membuat pasar malam. Tidak di bawah payung lembaga apa pun, bergerak independen. Tujuannya untuk mendukung UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Mereka memanfaatkan lahan kosong di bawah Jembatan Pasopati. Menarik! Memanfaatkan tanah lapang yang tidak terpakai dan mengambil lokasi di bawah jembatan sehingga kalau hujan pun tak jadi becek dan aman terlindungi.

Pasar dibuka dari pukul 3 sore dan pukul 11 malam mulai sepi. Saya datang dari pukul 8 malam. Ada 4 permainan yang bisa dinikmati, yaitu komidi putar, piring putar (saya tidak tahu istilahnya, karousel, dan kereta-keretaan. Setiap permainan harus merogoh kocek sejumlah Rp 5000,00. Cukup mahal, mungkin karena pelanggannya adalah mahasiswa, bukan pasar malam biasanya. Atau memang harganya standarnya segitu? Tetapi hitung-hitung membantu usaha kecil, saya sih tidak masalah. Toh seru juga ternyata. Adik-adik dari penduduk sekitar pun mendapat kesempatan unjuk kebolehan. Ada yang break dance, jaipongan, sampai menari korea. Menarik! Lain kali saya akan coba ke pasar malam yang sebenarnya.








Kamis, 15 Desember 2011

Biogas di Kampung Cibodas

Akhirnya hari ini adalah UAS terakhir! :) Setelah UAS memang sudah berencana untuk survey ke Kampung Cibodas yang konon katanya sudah berkembang pemanfaatan biogasnya. Untuk apa? Jadi ceritanya saya dan teman-teman U-Green mau jalan-jalan sambil belajar :) nah hari ini saya, Wisnu, Icha, Rizky, dan Icha main-main survey ke sana.

Yang ada di otak saya pertama kali mendengar Cibodas adalah di Bogor. Eits ternyata "Kampung Cibodas" namanya, yang letaknya di Lembang. Kami berlima naik mobil sedan milik Rizky.

Rani : "Cung, yakin nih ke sana pake sedan?"
Alin : "Lah ini mobilnya Cungut sedan"
Cungut : "Iya iya bisa kok"
Rani : "ok"

Perjalanan cukup jauh juga. Kami berangkat pukul 15.00 dan sampai pukul 16.30. Melewati Dago Giri, lalu teruuuss naiiik turuuuun dan jalanan masih "mulus". Dua kali kami ditarik bayaran ketika masuk ke beda desa. Seribu rupiah saja ditukar dengan selembar tiket yang tidak tahu untuk apa. Serunya ketika sudah dekat pemandangan mulai hijau semua. Kami melintas di antara hutan dan tebing.

Daan ketika akan masuk ke belokan Kampung Cibodas, ada sedikit undakan daaaan....


ZROOOK! Suara keras dari bagian bawah mobil.

Akhirnya kami turun dulu dari mobil, dan setelah mobil berhasil melewati undakan itu, kami pun naik lagi. Jalanan menuju ke dalam sedang dalam perbaikan, jadi hanya ada satu jalur dengan kondisi jalan yang berbatu. Hampir tiap kali bagian bawah mobil berbenturan dengan jalan. Dan akhirnyaaa setelah agak menahan nafas, kami sampai di jalan mulus lagi. Kami berhenti sebentar untuk shalat ashar.


Setelah shalat kami memutuskan untuk berjalan kaki saja dengan meninggalkan mobil di depan gang masjid. Kami ditunjukan salah satu tempat biogas oleh bapak-bapak yang sedang membawa susu, Pak Asep namanya. Lokasi pertama letaknya di dalam gang. Kondisinya tidak terlalu bersih. Ada kandang sapi yang berimpitan dengan rumah warga. Kotorannya berceceran di mana-mana. Sistem kerja biogasnya sama dengan lokasi kedua, akan saya jelaskan lebih lanjut lagi.


Keadaan kandang sapi, yang meluber di bawah itu adalah kotoran sapi


kandang sapi diapit rumah warga

Pemanfaatan biogas di kompor


Pak Asep memberi rekomendasi untuk melihat biogas yang lebih baik di rumah Pak X (saya lupa namanya). Tetapi ketika kami kesana, tampaknya tidak ada orang. Kemudian kami memutuskan untuk bertemu dengan Pak RT, namanya Pak Maman.

Pak Maman katanya sedang nonton sisingaan. Wah saya jadi tertarik! Sambil berencana menemui Pak Maman, saya mau lihat sisingaan itu seperti apa.


Yang diangkat adalah berbagai macam, dari kursi, tangga, samapai motor!
Dan yang menahan di bawahnya adalah seorang Ibu-Ibu dengan kakinya saja!


Sedang ada hajatan khitanan di sini. Awalnya kami enggan mencari dan memanggil Pak RT, tetapi setelah kami dibantu bapak hansip, Pak Maman dapat ditarik keluar untuk bercerita. Mengetahui maksud kami ingin menanyakan biogas, Pak Maman memanggil seseorang yang katanya paling mengerti, namanya Pak Anif. Kami pun diajak berkunjung ke kediamannya. Ternyata sistem biogas dan peternakannya sedikit lebih rapi dibanding yang tadi.

Penggunaan biogas di Kampung Cibodas telah dilakukan oleh 17 rumah. Mata pencaharian sebagian besar warga di sini (90%) sebagai peternak menjadi alasan kuat penggunaan teknologi ini. Hanya saja memang dibutuhkan biaya yang cukup mahal. Penggunaan biogas telah berlangsung selama 2 tahun. Pak Anif yang memulainya, dengan berawal dari menggunakan bahan gentong plastik hingga sekarang sudah 7 bulan menggunakan yang berbahan beton. Adanya teknologi ini rupanya mendapat subsidi dari Belanda. Pemasangan satu unit biogas seharga 6 juta, dan disubsidi 2 juta rupiah, Sehingga mereka harus membayar 4 juta. Pembayaran dengan kredit ke koperasi susu yang memotong uang susu 75 ribu rupiah per 15 hari. Selain itu pemilik biogas harus mempunyai peternakan sendiri, dan memiliki lahan cukup tentunya. Setiap hari dapat menghabiskan 3 kg kotoran sapi untuk satu hari pemakaian.


Suasana kandang Pak Anif

Jadi begini prosesnya :
  • Kotoran sapi yang dikumpulkan dimasukan ke dalam beton yang berbentuk seperti sumur. Kemudian diberikan air dan diaduk.
  • Kotoran akan turun ke bagian bawah yang berfungsi sebagai reaktor, yang diameternya 3 meter dan tingginya 1.8
  • Pengeluaran gas akan mengakibatkan padatan kotoran semakin turun
  • Gas yang akan digunakan disalurkan ke rumah melalui pipa
  • Sisa-sisa ampas dikumpulkan ke sebuah kolam untuk digunakan sebagai pupuk cair
  • Ampas keringnya dikumpulkan dan ditimbun
  • Ampas dikeringkan, dijadikan kompos

Tanah coklat itu adalah timbunan kotoran. Yang dipindahkan secara manual dari kolam kotak tadi

Hasil pupuk, teksturnya kering


Tidak ada buangan yang dihasilkan proses ini. Hanya saja pemanfaatan ampas biogas sebagai pupuk belum dilakukan oleh seluruh warga. Beberapa masih membuangnya di aliran sungai. Pemanfaatan ampas sebagai pupuk dilakukan atas inisiatif warga sendiri.

Kami sempat melihat pemanfaatan biogas di rumah Pak Anif. Ada yang untuk kompor dan lampu. tetapi lampu harus diberi pacuan dengan pemantik api.

Pipa biogas yang mengalir ke rumah

Meteran biogas . Lihat cairan merah di dalamnya.
Ketika bagian kanan sudah menunjukan angka di bawah, maka biogas yang ada kurang.


Lampu dengan api, terdapat bahan kasa yang disulut api terlebih dahulu


Hari sudah akan gelap, kami memutuskan pamit dan membuat janji untuk kunjungan (InsyaAllah) pada bulan Januari. Wah tempat ini mandiri sekali! Perekonomian bersandar pada produksi lokal susu dan memanfaatkan buangan dengan menjadi bahan bakar dan penyubur tanaman. Salut! :)

Ayoo liat siniiii *cekrik