Senin, 26 Desember 2011

Ketika Menari dilakukan di Tengah Pasar

Sebelum banyak mal dan pusat perbelanjaan berdiri dan buka tiap hari, pernahkah Anda berpikir bahwa kita belanja ke pasar sesuai hari pasaran (Jawa)? Belanja dan berkunjung ke pasar, dengan demikian tidak melulu kegiatan ekonomi bertahan hidup. Ia juga bagian dari keyakinan kita dalam melihat keselarasan gerak alam. (mengutip dari detail agenda acara Biennale XI)


Mengakhiri tahun 2011, saya berencana untuk kesekian kalinya ke kota favorit saya, Yogyakarta. Tujuan utamanya sebenarnya adalah menyaksikan pentas Papermoon Puppet Theater tanggal 21 Desember, tetapi ternyata selama di Jogja saya mendapat banyak bonus lebih!


Saya sudah tahu sebelumnya bahwa akan ada Festival Biennale Jogja XI yang masih berlangsung ketika saya sampai di Jogja, tetapi sayangnya kami minim informasi. Yang kami tahu hanya akan ada instalasi-instalasi yang dipasang di sejumlah lokasi di Jogja. Memang sudah berjodoh rupanya dengan acara ini. Ketika saya dan teman-teman asyik menunggu pementasan Papermoon di Kedai Kebun Forum, ada sejumlah pamflet dan brosur Biennale yang menarik perhatian kami. Kami langsung mengambil, mempelajarinya, dan membeli buku panduan festival ini seharga 5 ribu perak saja.

Dan acara ini menarik perhatian saya :

22 Desember 2011, pukul 07.00-10.00
Pasar dan Pasaran (umum dan gratis), Pasar Mangiran Bantul

Pertunjukan di tengah pasar? Menarik.

Esok paginya kami berangkat pukul 6.15 pagi dari wisma kami di Jalan Tirtodipuran. Tujuan kami Pasar Mangiran Bantul, sebelum pukul 07.00. Kami buta jalan. Berbekal tanya ke warga sekitar, akhirnya dengan harga ongkos 5000 perak kami menumpang bis Jogja-Bantul. Perjalanan cukup jauh ternyata. Semakin mendekati Bantul, yang kami lihat di kanan kiri jalan adalah sawah. Kenek bis yang kami naiki ternyata tau persis pertunjukan reyog yang akan tampil nanti. Tepat di depan Pasar Mangiran terdapat tenda besar yang dipasang di tengah lapangan.

"Pasar Mangiran!" kata kenek bis. Kami pun turun.

Setelah bertanya dengan warga setempat, kami mendapat informasi bahwa acara dimulai pukul 09.00. Hmm... kami kira kami akan terlambat.

Menunggu hingga pukul 09.00, kami memutuskan untuk berkeliling di Pasar Mangiran, sarapan sate sambil mengobrol dengan ibu-ibu penjual buah yang saya lupa namanya. Informasi yang saya dapat dari ibu ini, pertunjukan reog memang cukup sering dilakukan di desa ini. Wah, ini dia yang saya cari. Pertunjukan rakyat!

Pasar Mangiran hanya buka di hari-hari yang dianggap baik oleh masyarakat Jawa. Namanya hari pasaran, yang terdiri atas Hari Wage dan Pahing. Pertunjukan perkusi, jathilan, dan reog yang menjadi kebanggaan masyarakat Mangiran ditampilkan sebagai tanda syukur pada hari pasaran. Reog yang ditampilkan berbeda dengan reog yang sering kita lihat di Ponorogo. Bukan sisingaan, melainkan bentuknya mirip seperti wayang orang. Saya juga kurang paham mengapa disebutnya reog.

salah satu sudut Pasar Mangiran

Kenyang dengan sate lontong, bubur sum-sum, dan jamu tradisional, kami kembali ke lapangan pertunjukan. Penari-penari rupanya sudah mulai bersiap-siap. Iring-iringan perkusi sesekali berlatih sebelum turun ke jalan.

Pukul 09.00 tepat, penari-penari berkostum Butha (baca:butho) dan pemain perkusi mulai bergerak ke jalan, masuk ke pasar. Satu jam lamanya mereka menggerakkan badan seirama dengan perkusi. Seketika seluruh pandangan warga sekitar tertuju pada kekonyolan mereka, dibalik kostumnya yang menyeramkan. Saya pun beberapa kali tertawa dan tidak lelah mengikuti tingkah polah mereka. Di tengah teriknya matahari, mereka tetap asyik bergoyang. Di tengah pasar sesekali mereka mengambil buah jualan, lalu dimakan sendiri atau menyuapi teman-teman butha nya.




Kira-kira setelah 1 jam beraksi di dalam pasar dan jalan, pasukan ini kembali ke lapangan tenda. Tandanya pertunjukan reog akan dimulai. Sekeliling tenda telah dipenuhi masyarakat Desa Trimurti yang sudah tidak sabaran untuk menonton. Judul cerita reog yang akan dibawakan adalah "Lahirnya Gatotkaca".


Gerongan yang mengawali cerita

Pertunjukan ini bukan juga seperti drama-drama yang makan waktu lama. Diawali dengan iring-iringan musik sederhana dan meriah, masuklah 2 banjar tokoh-tokoh wayang orang dengan kostum lengkapnya. Gagah sekali.





Dan cerita pun dimulai. Tanpa dialog, hanya gerakan-gerakan yang menjadi simbolisasi tiap perkataan. Hanya saja kalau mau mengerti, kita perlu tahu pasti cerita dan tokoh-tokoh yang ada di kisah kelahiran Gatotkaca. Saya dan teman-teman hanya bisa menebak beberapa tokoh, dan sisanya kami kurang paham. Berawal dari Gatotkaca kecil yang masih dibawa oleh ibunya, kemudian mulai beranjak dewasa, berubah menjadi anak-anak berumur kira-kira 7 tahun. Gatotkaca kecil terlihat piawai dalam menari. Kemudian tumbuh lagi menjadi Gatotkaca dewasa yang akhirnya bisa mengalahkan si tokoh jahat.

Gatotkaca di waktu bayi

Gatotkaca cilik bertarung

Hingga dewasa masih tak terkalahkan

Cukup memakan waktu sekitar 1 jam, pertunjukan berakhir dan menyisakan kesan yang besar buat saya. Setelah usai pertunjukan, para pemain langsung meninggalkan arena. Sempat kami mencegat 2 pemain untuk berfoto bersama. Jam menunjukkan sekitar pukul 12 dan matahari semakin tinggi. Kami memutuskan untuk meninggalkan Bantul dan melanjutkan perjalanan kami. Terima kasih untuk sajian memukaunya! :)

2 komentar: