Masih ingat posting saya tentang Papermoon Puppet Theater bulan januari lalu? Coba intip di sini untuk mengingat kembali. Pertunjukan ini yang menjadi pemicu kuat saya untuk jauh-jauh ke kota Jogja. Pemesanan tiket dilakukan jauh-jauh hari. Jadwal mainnya dari tanggal 15 sampai 22 Desember. Akhirnya setelah mengepaskan tanggal dan mendapat teman menonton, saya langsung keluarkan 120 ribu untuk 4 tiket dan berangkat ke stasiun membeli tiket kereta untuk tanggal 21 Desember.
Saya dicarikan tempat menginap oleh Mbak Mita yang tempatnya tidak jauh dari tempat "janjian" menonton. Kenapa janjian? Bukan langsung lokasi menontonnya? Nah ini dia nih yang asik. Sebelum sampai ke wisma tempat istirahat kami, kami sempat melewati Kedai Kebun Forum. Oh ini dia nih lokasi yang ditulis di bukti pembayaran tiket. Pertunjukan dimulainya pukul 8 malam, dan kami harus standby dari pukul 7.30. Sampai di Kedai Kebun, kami diminta menunggu, katanya nanti ada bis yang akan mengantar kami. Bis? Kami mau dibawa ke mana? Lagi-lagi saya dibuat penasaran ketika membaca-baca booklet yang dibagikan sambil menunggu. Saya baca bagian jajaran crew. Ada posisi pemandu wisata? Memangnya kita mau dibawa ke mana?
Kira-kira pukul 8 lebih sedikit rombongan yang menonton pukul 6 sore kembali ke Kedai Kebun. Kami dibagikan tanda untuk dikalungkan di leher, dan digiring ke bis mini. Wah! Saya sangat bersemangat! Mau dibawa ke mana ya? Akal-akalan sok tau saya berpikir akan dibawa ke tempat yang masih ada di gang yang sama, Tirtodipuran. Hanya ada sekitar belasan penonton 1 kloter. Kami semua dijejali masuk bis. Mas Wulang Sunu sebagai pemandu wisata bergelantung di pintu bis sambil mengoceh dengan toa di tangan kirinya. Ia bercerita tentang beberapa gedung yang kami lewati, tapi lebih banyak melawaknya. Saya dan rombongan lain dibuat tersenyum senyum geli.
Setelah melewati pasar telo (telo itu ketela, sejenis singkong), bis diberhentikan di depan toko antik. Kami diajak untuk mampir membeli oleh-oleh. Rombongan disambut pemilik toko. Setelah melihat-lihat di bagian depan, kami diajak ke gudang bagian dalam. Sebelum masuk, kami diberi pesan untuk tidak mengambil foto, karena katanya barang-barang di situ adalah koleksi penting. Dan pintu pun dibuka. Di sisi kanan pintu tertata rapi sejumlah barang antik yang disusun bertumpukan. Si pemilik toko masih berceloteh dan mempersilakan kami duduk di kursi yang menghadap ke barang-barang itu. Tiba-tiba lampu mati. Si pemilik toko bersikap bingung dan pamit ke belakang untuk mengecek. Jantung saya berdebar-debar saking tidak sabarnya! Ini seru sekaliiii! :D
Dan benar saja! Tiba-tiba lampu menyala dan boneka-boneka beserta pemainnya sudah ada di antara barang-barang antik itu. Alunan musik lawas mengiringinya.Kisahnya sederhana. Tentang kisah cinta seorang pemuda yang sempat kehilangan kewarganegaraannya paska peristiwa G30S PKI, karena mendapat kehormatan dikirim tugas belajar ke Rusia oleh Presiden Soekarno. Sebelum keberangkatannya ke Rusia, ia telah berjanji untuk menikahi kekasihnya di tanah air. Karena sedang berada di negara komunis saat peristiwa G30S PKI, paspornya dicabut oleh pemerintah orde baru. Selama 40 tahun ia tidak dapat menghubungi kekasih dan keluarganya. Selama itu pula ia tetap memegang teguh janjinya pada kekasihnya. Dan ternyata pria ini masih hidup hingga saat ini, Pak Wi namanya. Sedangkan wanita yang dulu kekasihnya saat ini telah berkeluarga dan memiliki 4 orang cucu. Mbak Ria, konseptor, artistic director, art director, sekaligus pemain ternyata berhasil bertemu dengan Pak Wi di dunia maya. Memang kehebatan teknologi zaman sekarang! :) Pria kelahiran 1940 ini sekarang masih tidak menikah, dan bekerjan sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.
"Karena cinta itu masih ada..."
Dan ini dia pementasan "Setjangkir Kopi Dari Plaja"
Segalanya detail sekali. Boneka yang digunakan berjumlah 5 buah. Sepasang Pak Wi & kekasih di kala muda dan sepasang di kala tua. Satu lagi adalah pria yang akhirnya menikahi kekasih Pak Wi. Pemain boneka kali ini dalam tampilan beda. Di pementasan sebelumnya, kostumnya hitam-hitam, sehingga tidak masuk dalam cerita. Sedangkan kali ini beda. Pakaian yang dikenakan sesuai dengan temanya yang lawas, kemudian disesuaikan dengan kondisi boneka. Ketika sudah tua, pemain laki-laki ikut menggunakan kacamata, sedangkan pemain perempuan menggunakan slayer yang diikat di leher. Rasanya lebih menyatu.
Boneka kecil digunakan untuk menggambarkan isi ingatan. Ada adegan flash back di sana. Aaah detail sekaliii. Kemudian artistiknya saya suka sekali! Dalam hal ini tidak perlu berganti latar. Hanya berpindah posisi dan permainan lampu, maka kita akan terseret dalam lokasi yang berbeda. Contohnya saja ketika adegan bepergian, dilakukan di atas koper-koper tua yang bertumpuk. Dan semua barang itu tidak hanya sebagai pajangan saja. Semua digunakan. Bahkan lampu-lampu warna-warni yang ada di bagian atas yang tadinya saya pikir hanya sebagai pemanis, di satu adegan dapat diturunkan dan membawa penonton ke beda lokasi lagi! Setelah saya selidiki, menurunkan lampion-lampion ini adalah dengan cara sangat sederhana, yaitu dengan badan sepeda! Keinginan pementasan ini mengeksplorasi ruang saya acungi jempol. Selamat, kalian berhasiil! Aduh saya sampai kehabisan kata-kata. Dan cerita ini berhasil menyentuh saya. Membuat pandangan saya tidak lepas dari permainan ini. Ah keren sekali!
Usai menonton, semua penonton sempat berfoto-foto dan diwawancara oleh pihak Papermoon. Ada sajian wedang jahe dan gorengan juga di depan ruangan. Kami semua kembali ke bis dan diboyong lagi ke Kedai Kebun (meskipun si pemandu wisata sempat bilang kami akan dibawa ke tempat lain. Hahaha masih saja melawak). Pementasan ini menyisakan banyak hal. Rasanya masih terasa sampai ketika saya menulis ini. Terima kasih untuk seluruh rangkaian pementasan ini! Mulai dari penjemputan, di dalam bis, toko antik, pementasan, dan pemulangannya, semuanya keren! :) Lagi-lagi salut untuk Papermoon!
Saya dicarikan tempat menginap oleh Mbak Mita yang tempatnya tidak jauh dari tempat "janjian" menonton. Kenapa janjian? Bukan langsung lokasi menontonnya? Nah ini dia nih yang asik. Sebelum sampai ke wisma tempat istirahat kami, kami sempat melewati Kedai Kebun Forum. Oh ini dia nih lokasi yang ditulis di bukti pembayaran tiket. Pertunjukan dimulainya pukul 8 malam, dan kami harus standby dari pukul 7.30. Sampai di Kedai Kebun, kami diminta menunggu, katanya nanti ada bis yang akan mengantar kami. Bis? Kami mau dibawa ke mana? Lagi-lagi saya dibuat penasaran ketika membaca-baca booklet yang dibagikan sambil menunggu. Saya baca bagian jajaran crew. Ada posisi pemandu wisata? Memangnya kita mau dibawa ke mana?
Kira-kira pukul 8 lebih sedikit rombongan yang menonton pukul 6 sore kembali ke Kedai Kebun. Kami dibagikan tanda untuk dikalungkan di leher, dan digiring ke bis mini. Wah! Saya sangat bersemangat! Mau dibawa ke mana ya? Akal-akalan sok tau saya berpikir akan dibawa ke tempat yang masih ada di gang yang sama, Tirtodipuran. Hanya ada sekitar belasan penonton 1 kloter. Kami semua dijejali masuk bis. Mas Wulang Sunu sebagai pemandu wisata bergelantung di pintu bis sambil mengoceh dengan toa di tangan kirinya. Ia bercerita tentang beberapa gedung yang kami lewati, tapi lebih banyak melawaknya. Saya dan rombongan lain dibuat tersenyum senyum geli.
Setelah melewati pasar telo (telo itu ketela, sejenis singkong), bis diberhentikan di depan toko antik. Kami diajak untuk mampir membeli oleh-oleh. Rombongan disambut pemilik toko. Setelah melihat-lihat di bagian depan, kami diajak ke gudang bagian dalam. Sebelum masuk, kami diberi pesan untuk tidak mengambil foto, karena katanya barang-barang di situ adalah koleksi penting. Dan pintu pun dibuka. Di sisi kanan pintu tertata rapi sejumlah barang antik yang disusun bertumpukan. Si pemilik toko masih berceloteh dan mempersilakan kami duduk di kursi yang menghadap ke barang-barang itu. Tiba-tiba lampu mati. Si pemilik toko bersikap bingung dan pamit ke belakang untuk mengecek. Jantung saya berdebar-debar saking tidak sabarnya! Ini seru sekaliiii! :D
Dan benar saja! Tiba-tiba lampu menyala dan boneka-boneka beserta pemainnya sudah ada di antara barang-barang antik itu. Alunan musik lawas mengiringinya.Kisahnya sederhana. Tentang kisah cinta seorang pemuda yang sempat kehilangan kewarganegaraannya paska peristiwa G30S PKI, karena mendapat kehormatan dikirim tugas belajar ke Rusia oleh Presiden Soekarno. Sebelum keberangkatannya ke Rusia, ia telah berjanji untuk menikahi kekasihnya di tanah air. Karena sedang berada di negara komunis saat peristiwa G30S PKI, paspornya dicabut oleh pemerintah orde baru. Selama 40 tahun ia tidak dapat menghubungi kekasih dan keluarganya. Selama itu pula ia tetap memegang teguh janjinya pada kekasihnya. Dan ternyata pria ini masih hidup hingga saat ini, Pak Wi namanya. Sedangkan wanita yang dulu kekasihnya saat ini telah berkeluarga dan memiliki 4 orang cucu. Mbak Ria, konseptor, artistic director, art director, sekaligus pemain ternyata berhasil bertemu dengan Pak Wi di dunia maya. Memang kehebatan teknologi zaman sekarang! :) Pria kelahiran 1940 ini sekarang masih tidak menikah, dan bekerjan sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.
"Karena cinta itu masih ada..."
Dan ini dia pementasan "Setjangkir Kopi Dari Plaja"
Segalanya detail sekali. Boneka yang digunakan berjumlah 5 buah. Sepasang Pak Wi & kekasih di kala muda dan sepasang di kala tua. Satu lagi adalah pria yang akhirnya menikahi kekasih Pak Wi. Pemain boneka kali ini dalam tampilan beda. Di pementasan sebelumnya, kostumnya hitam-hitam, sehingga tidak masuk dalam cerita. Sedangkan kali ini beda. Pakaian yang dikenakan sesuai dengan temanya yang lawas, kemudian disesuaikan dengan kondisi boneka. Ketika sudah tua, pemain laki-laki ikut menggunakan kacamata, sedangkan pemain perempuan menggunakan slayer yang diikat di leher. Rasanya lebih menyatu.
Boneka kecil digunakan untuk menggambarkan isi ingatan. Ada adegan flash back di sana. Aaah detail sekaliii. Kemudian artistiknya saya suka sekali! Dalam hal ini tidak perlu berganti latar. Hanya berpindah posisi dan permainan lampu, maka kita akan terseret dalam lokasi yang berbeda. Contohnya saja ketika adegan bepergian, dilakukan di atas koper-koper tua yang bertumpuk. Dan semua barang itu tidak hanya sebagai pajangan saja. Semua digunakan. Bahkan lampu-lampu warna-warni yang ada di bagian atas yang tadinya saya pikir hanya sebagai pemanis, di satu adegan dapat diturunkan dan membawa penonton ke beda lokasi lagi! Setelah saya selidiki, menurunkan lampion-lampion ini adalah dengan cara sangat sederhana, yaitu dengan badan sepeda! Keinginan pementasan ini mengeksplorasi ruang saya acungi jempol. Selamat, kalian berhasiil! Aduh saya sampai kehabisan kata-kata. Dan cerita ini berhasil menyentuh saya. Membuat pandangan saya tidak lepas dari permainan ini. Ah keren sekali!
Usai menonton, semua penonton sempat berfoto-foto dan diwawancara oleh pihak Papermoon. Ada sajian wedang jahe dan gorengan juga di depan ruangan. Kami semua kembali ke bis dan diboyong lagi ke Kedai Kebun (meskipun si pemandu wisata sempat bilang kami akan dibawa ke tempat lain. Hahaha masih saja melawak). Pementasan ini menyisakan banyak hal. Rasanya masih terasa sampai ketika saya menulis ini. Terima kasih untuk seluruh rangkaian pementasan ini! Mulai dari penjemputan, di dalam bis, toko antik, pementasan, dan pemulangannya, semuanya keren! :) Lagi-lagi salut untuk Papermoon!