Selasa, 13 Desember 2011

(bukan) TPA Bantar Gebang

Well, it's supposed to be the scientific one, but let's make it fun! :D

Ok, setelah sudah ke 'bekas' kerajaan sampah di Leuwi Gajah yang lalu dan sempat juga menemani mahasiswa MIT ke Sarimukti (tapi belum sempat saya ceritakan ya yang ini), saya dan teman-teman sejurusan akhirnya dapat kesempatan berkunjung ke Bantar Gebang! Oh ya, sebelum saya bercerita lebih jauh, sejujurrnya nanti jam 12.15 siang saya ada UAS mata kuliah pengelolaan sampah yang (mungkin) salah satu soalnya adalah tentang kunjungan lapangan ini. Jadi, daripada saya hanya membaca-baca laporan yang kelompok saya buat, lebih baik saya cerita hasil catatan dan dokumentasi saya :) Sebenarnya sudah mau segera menulis ini tapi selalu tertunda, jadi sekalian bantu saya belajar ya!


Jumat, 18 November 2011 lalu, saya dan teman-teman angkatan Teknik Lingkungan 2009 melakukan kunjungan lapangan ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Bukan lagi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) lho ya. Kenapa berubah menjadi TPST? Nah ini dia yang menarik. Untuk saat ini TPST Bantar Gebang adalah TPST terbesar dengan sistem pengelolaan sampah terbaik se-Indonesia lho. Luasnya saja mencapai 110,3 hektar!

Kami berangkat menggunakan bus dari gerbang depan kampus ITB pukul 07.00 dan sampai ke Bekasi sekitar pukul 10.00. Meskipun katanya sistem pengelolaannya sudah baik, hmm yang namanya gunungan sampah ya pasti kurang sedap baunya. Kami sudah siap amunisi dengan membawa masker. Begitu keluar bus, saya langsung disambut wangi sampah yang aduhai dan teriknya matahari.

Sebelum melihat ke lapangan, kami diberikan pengantar oleh Bapak Batara Erwin Sinaga sebagai manajer 2 dan Bapak Ir. Douglas Jiwanurung sebagai managing director. Beliau-beliau ini adalah orang-orang yang memegang peran cukup penting dalam sistem birokrasi TPST Bantar Gebang. Pengelolaan TPST Bantar Gebang ini dipegang oleh pihak swasta yang terikat kontrak dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia.


Sejarah (sangat) singkat

TPA Bantar Gebang mulai aktif pada tahun 1989. Pada saat itu sampah yang masuk adalah 5000-6000 ton/ hari. Pada saat itu lahannya adalah seluas 108 hektar. Hampir selama 20 tahun, sistem pengelolaan sampah hanya dengan open dumping dan sanitary landfill.

Sanitary landfill : Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-perlapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup (G.H. Tchobanoglous, H. Theissen, 1993)

Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan (Enri Damanhuri, 2010)

Kemudian Pemrov DKI Jakarta membuka tender untuk pengelolaan TPA ini, dan akhirnya pada Desember 2008 dimenangkan oleh kedua perusahaan tersebut di atas.


Tentang TPST Bantar Gebang

TPST Bantar Gebang yang memiliki luas total daerah 110,3 Ha ini terletak di Kota Bekasi. Posisi TPST dikelilingi oleh 4 kelurahan, yaitu Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Ciketing Udik.


Visi dari pengelolaan TPST Bantar Gebang ini adalah sebagai pusat studi persampahan dan alternatif pariwisata. Saat ini luasnya mencapai 110 hektar, dan akan mengalami penambahan 10,5 hektar untuk tempat pengolahan. TPST terbagi menjadi 5 zona.

Pembagian 5 zona

Truk yang masuk ke dalam TPST ini kurang lebih 1000 truk/hari. Biaya yang didapatkan kedua perusahaan ini seharunya adalah Rp 230.000,00/ ton, sedangkan untuk community development kota Bekasi dipotong 20% sehingga hanya dibayarkan Rp105.300,00/ton. Sebelum truk masuk ke arena TPST, dilakukan penimbangan terlebih dahulu di jembatan timbang yang pengawasannya bertanggung jawab ke Dinas Kebersihan.

Sejumlah 53% dari jumlah sampah di TPST ini telah menjadi kompos. Sampah yang diakui cukup mendominasi adalah sampah-sampah plastik! Saya percaya betul setelah melihat dengan mata kepala sendiri.

Nah, intinya TPST ini dibagi menjadi 4 bagian pengelolaan sampah :
  1. Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)
  2. Unit Composting
  3. Sanitary Landfill
  4. Power Plant
Setelah mendengar cerita yang cukup panjang, kami melakukan santap siang dan shalat jumat bagi yang laki-laki. Kemudian tibalah saatnya melihat ke lapangan!


Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)

Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis.(Enri Damanhuri, 2010)

Pernah memperhatikan air hitam yang keluar dari tumpukan sampah? Nah itulah air lindi. Bisa dibayangkan kan, air hasil ekstraksi sampah kandungannya pasti tidak karuan. Maka dari itu perlu dilakukan pengolahan airnya agar aman dibuang ke badan air.

Ini adalah lokasi yang paling menusuk baunya. Masker pun tidak terlalu membantu. Bahkan mata saya sangat pedih ketika berada di sini. Singkatnya, ini bagian-bagian yang ada di IPAS :
  • Kolam Equalisasi
  • Kolam Fakultatif
  • RBD ( Rotating Biological Denitrification)
  • Kolam Aerob
  • Ruang Proses Kimia
  • Bak Pengandap
  • Polishing Pond
  • Kolam Lumpur
IPAS (tampak dari kejauhan)


Hasil akhir airnya jangan bayangkan akan jernih. Ternyata di bak terakhir pun keluarannya akan tetap berwarna hitam. Hanya saja kandungannya katanya sih sudah tidak berbahaya lagi dan memenuhi standar air baku. Kalau teman-teman buka di PP 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, air ini masuk dalam kelas 4. Lumpur yang dihasilkan dari proses ini dibuang ke landfill.

Aargh masker saya sekarang jadi dilekati bau lindi! Dan saya masih kagum dengan dosen saya Ibu Tri Padmi dan Pak Wahyu yang sama sekali tidak terlihat terganggu dengan "wangi" ini.


Unit Composting

Di lokasi ini kami membutuhkan masker bukan karena baunya, tetapi karena sangat berdebu. Untung saya juga gunakan kacamata saya karena kalau tidak bisa kelilipan. Sampah yang masuk ke proses ini adalah 500 ton/hari dan 15-20% nya berhasil menjadi pupuk. Sayangnya sampah yang melewati proses ini hanya sampah dari lokasi-lokasi terpilih, yaitu pasar tradisional seperti pasar Kramat Jati, Jembatan Lima, Cibubur, dll.

Prosesnya adalah :

Sampah disortir secara manual dilihat dari ukuran sampah. Kemudian dimasukan ke conveyor pemilah. Lalu dihancurkan di penghancur. Kemudian di conveyor feeder terpisahkan sampah yang bisa menjadi kompos dan tidak. Sampah yang tidak bisa masuk dalam proses composting di press untuk dijadikan briket.


Yang diambil adalah yang bubuk (bagian depan)

Kompos yang dihasilkan berbentuk bubuk. Tetapi dilakukan proses lagi agar dijadikan bentuk butiran. P
ara petani katanya masih belum percaya dengan pupuk berbentuk serbuk. Alasannya karena menempel di daun, mudah terbang, dan terapung di air. Proses pembuatan pupuk butiran (granule) adalah dengan penambahan 15-20% percikan air, kemudian setelah panas mencapai 65 derajat diberikan mikroba lagi (karena pada suhu ini beberapa mikroba mati). Total lama proses awal hingga akhir adalah 1,5 bulan hingga kompos siap jual. Biasanya pasarnya adalah sampai ke Pulau Sumatera.

Pupuk dalam butiran

Obrolan belum selesai, tetapi rombongan yang antusias mendengarkan semakin sedikit. Wah ternyata teman-teman lain sudah di bis duluan! Kami langsung bergegas pamit.


Power Plant


Sebagian besar timbunan sampah di TPST Bantar Gebang ditutup dan dipasang pipa di atasnya. Tujuannya adalah untuk menangkap gas metan yang dihasilkan oleh sampah. Proses degradasi anaerob (tanpa oksigen) akan menghasilkan gas metan. Gas metan ini kemudian dialirkan ke mesin untuk perolehan listrik. Saat ini TPST Bantar Gebang telah menghasilkan listrik 1220 - 2000 kW! Di Indonesia, hanya Bantar Gebang dan Bali yang sudah memiliki alat-alat ini.

Yang tertutup di bawahnya adalah sampah dan pipa-pipa tersebut adalah untuk mengalirkan gas metan

Ruang mesin

Ruang kontrol

Di bagian ini kami tidak punya waktu banyak untuk mendapat penjelasan. Mesin-mesin yang bunyinya sangat bising cukup mengganggu kami. Tetapi cukup nyaman karena dilengkapi pendingin ruangan. Sempat saya bertanya apakah petugas menggunakan penutup kuping ketika sedang bekerja? Dan jawabannya tidak. Hmm bahaya sekali ya... Dan petugas-petugas ini pun kebanyakan tidak berseragam.
- - - - -

Setelah ini kami meluncur ke TPA Sumur Batu, yaitu TPA yang melayani sampah warga Kota Bekasi. Letaknya tidak jauh dari sini. Ceritanya berbeda lagi tapi, saya bahas di postingan lain ya :D Membaca yang ini saja sudah banyaaak. Hehe

Nah, sekarang cukup terbayang kan kalau proses pengelolaan sampah itu rumit dan pastinya BUTUH BIAYA BESAR. Faktanya, banyak yang masih menyepelekan persoalan ini. Banyak pihak yang masih juga tidak mau bayar soal pengelolaan buangannya. Padahal di Amerika katanya pembayaran untuk waste to energy adalah 23-35 USD/ton. Masih banyak orang yang merasa kalau soal sampah buat apa bayar?

Sekarang sudah (atau hanya?) 4 TPA di Indonesia yang sedang dalam proses kelayakan teknis yang dilaksanakan oleh calon investor masing-masing untuk mendapatkan sertifikat emisi karbon dari PBB, yaitu (Dikatat Pengelolaan sampah, 2010):
  • TPA Suwung di Denpasar: status potensinya telah terdaftar pada badan dunia (UN-FCCC No.0938), sehingga menunggu persetujuan metodologi dan verivikasi untuk mendapatkan sertifikat
  • TPA Pontianak, TPA Kota Bekasi dan TPA Palembang: potensinya sedang dalam proses verifikasi
Semoga diikuti kota-kota lain juga ya. Kita tidak mau kan Indonesia jadi lautan sampah? Hiii (membayangkan film Wall-E)

Oh iya, saya menemukan ada tukang jualan di sini. Hii bisa-bisanya ada yang mau beli di tengah-tengah gunungan sampah ini.

Pak.. mbok ya jangan jualan di sini ya..

10 komentar:

  1. menarik dan detail informasinya tentang bantargebang :)
    minggu lalu sebelum imlek, kami ke sana untuk bermain dengan adek-adek, anak para pekerja sampah di sana.
    sulit bicara tentang kesehatan dan kelayakan saat melihat cara hidup mereka, tapi namanya anak-anak: bermain, bergembira, tertawa, mkan bersama dikelilingi bau menyengat sampah dan puluhan lalat hijau yang mengerubungi kami

    salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah terima kasih :) iya saya rasa anak-anak perlu diberi jalan-jalan yang ga biasa ke tempat seperti ini :) supaya diajak berpikir dan membayangkan di masa depan sampah mau ditimbun di mana lagi?

      Hapus
  2. Hi Aranti,

    Bagus sekali ya blog kamu ini. Penjelasan mengenai Bantar Gebang nya juga sangat mendetail. Saya sedang menulis mengenai sampah.
    Mohon ijin untuk mencuplik beberapa keterangan dari sini. Namun saya pastinya mencantumkan nama Aranti :)
    Terimakasih.

    Salam,
    Lydia

    BalasHapus
  3. Hallo aranti...
    Tertarik dengan cerita kamu. boleh minta kontak kamu?

    Fauzia

    BalasHapus
  4. Bagaimana yach cara untuk pembuangan sampah ke bantar gebang. Berapa biaya yg harus d keluarkan untuk retribusi perbulannya.


    BalasHapus
  5. Menarik Sekali artikel ini, kebetulan sy juga memang tinggal di sana dan membinna anak-anak minggran yang orang tuanya bekerja sebagai pemulung di TPST Bantargebang Bekasi......

    BalasHapus
  6. Assalamualaikum...
    bagus banget kak arranti penjelasan nya, kebetulan sya juga sedang TA dan judul nya tentang bantar gebang juga.. mohon izin yah buat mencuplik sedikit, hehe
    saya mencantumkan nama kak arranti pastinya.

    terima kasih :)

    BalasHapus
  7. terimakasih informasinya, sangat membantu dan memberi wawasan

    BalasHapus