Minggu, 10 Juni 2012
Hore! Akhirnya tiba saatnya saya melihat langsung mata air Desa Ponggang, yang menjadi sumber kehidupan desa ini. Saya harus menunggu hari Minggu agar bisa ditemani oleh bapak-bapak dari pegiat progam Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) di Desa Ponggang. Ada Pak Edo, Pak Maman, Bu Wida, Pak Asep, dan Pak Uyo yang memandu saya.
Sebelumnya ketika saya sampaikan keinginan untuk melihat broncaptering (bak penampung mata air), semuanya menyatakan bahwa medannya sulit. Ah saya justru merasa tertantang! :D Berbekal celana dan kaus panjang, sendal gunung, topi, kamera, dan buku catatan, saya siap berangkat!
Pukul 10 pagi kami janjian di sebuah warung, dan naik motor hingga kebun kelapa sawit. Jalan masuknya tidak terlihat dari luar. Sebenarnya bisa saja kami menyusuri dari hilir sungai. Tetapi Pak Edo memilih jalan pintas dari hutan. Kami menyusuri hutan kelapa sawit, turun terus ke bawah, hingga bertemu hutan. Jalanan cukup licin dan turun terus ke bawah.
Akhirnya setelah menyusuri hutan dan satu kali jatuh terpeleset, sampai juga di sungai! Hore! Ternyata sungai berbatu dengan air yang sangat jernih! Dan ada tebing tinggi di sisi-sisinya. Saya sangat bersemangat! Pak Edo dan Pak Maman menganjurkan untuk mencopot sendal saya agar tidak licin. Karena kami akan berjalan di atas bebatuan. Dengan bantuan Pak Asep, saya bisa lancar melompati batu satu dan lainnya. Meskipun beberapa kali kagok juga karena arusnya lumayan deras dan batuannya licin.
Ini yang menarik. Ada pipa yang mengalirkan air dengan posisi yang digantungkan ke pohon. Bentuknya seperti jembatan. Modifikasi ini dibuat sendiri! Sebelumnya seluruh pipa berada di pinggir sungai sejak dibangun tahun 2009. Tetapi tahun 2010 lalu terjadi banjir bandang yang menghancurkan pipa-pipa tersebut. Dengan dana swadaya, masyarakat membangun lagi dan mengakali pipa-pipa ini dengan digantungkan ke pohon, atas ide Pak Uyo, yang diangap paling mengerti soal teknis.
Jembatan gantung pipa |
Menyusuri sungai, dan kemudian naik ke darat lagi untuk melihat jalur pipa di pinggir sungai. Ada dua pipa dari dua broncaptering yang berbeda. Pemasangann valve di beberapa titik dibuat permanen dan tidak bisa dibuka dengan tangan telanjang tanpa alat, untuk mencegah keisengan orang membuka tutup valve.
Ada pula bentuk jembatan dengan bahan semen untuk jalur pipa di dalamnya. Infrastruktur jembatan juga didesain sendiri oleh Pak Uyo. Kami sempat beristirahat sejenak di sini.
Pak Uyo bergaya sejenak di atas jembatannya. Hehe |
Wuah! Sampe copot sol sepatu saya! Hahaha. Untung di bagian belakang, jadi tidak terlalu mengganggu |
Akhirnya sampai juga di broncaptering! Dua kotak besar yang di dalamnya menampung limpahan mata air yang keluar dari batuan untuk disalurkan ke masyarakat desa. Proses membangun broncaptering besar memakan waktu hingga 1 bulan dan sedikit terhambat karena selain memang ukurannya lebih besar, pada saat itu adalah musim penghujan. Ketika proses pembangunan sering terhenti ketika arus air mulai berbuih, tanda akan banjir. Sedangkan untuk broncaptering hasil Hibah Intensif Desa (HID), cukup memakan waktu 2 minggu saja. Material yang digunakan sebagian berasal dari sungai itu sendiri, yaitu pasir kali dan kerikil. Sedangkan untuk semen tetap perlu memanggul dari atas. Yang menarik dalam proses pembangunannya adalah perlu mengalihkan aliran arus sungai agar tidak mengganggu. Pemindahan batu-batu besar hanya bermodalkan dongkrak dan menggulingkan si batuannya! Pak Uyo bercerita sambil menunjuk jempolnya yang sempat terluka karena terkena batu.
Tempat bapak-bapak itu duduk adalah broncaptering yang dibangun pada tahun 2009, dengan ukuran lebih besar. Sedangkan di sebelah kanan, yang lebih kecil adalah dari HID dibangun tahun 2011 . |
Setelah puas beristirahat dan mengorek info dari Pak Uyo, kami kembali lagi ke atas. Jalan menanjak? Tidak masalah! Saya dengan mudah jalan cepat hingga ke atas dan ternyata mengalahkan yang lain. Hahaha.
"Neng kalau di hutan saya ngaku kalah deh neng. Kuat banget," kata Pak Edo. Hahaha. Bu Wida pun tertinggal jauh di belakang. Padahal saya cupu berat ketika lompat-lompat di batuan sungai. Hehe.
Bu Wida ngos-ngosan mendaki ke atas |
Setelah kembali ke desa, perut keroncongan! Kami langsung menyantap nasi liwet hangat yang nikmat sambil sedikit membahas apa yang sudah saya lihat tadi.
Nasi liwet (lagi)! |
Wah mata air Cidomas cocok untuk tempat wisata. Tetapi memang katanya ketika musim libur Lebaran, sungai ini cukup ramai dikunjungi. Sayang pada waktu itu saya tidak banyak menceburkan diri untuk main karena membawa buku catatan dan kamera. Hahaha lagipula memang tujuan awal untuk "kerja". Hehe. Lain kali saya akan ke sana lagi! PR saya selanjutnya adalah mempelajari gambar teknik si broncaptering :) Yeah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar