Minggu, 17 Juni 2012

12 hari mengenal keluarga baru di Desa Ponggang

Saya sangat ingin bercerita tentang keluarga ini! Dua belas hari saya habiskan bersama seluruh anggota keluarga ini. Saya tinggal di rumah keluarga Bapak Agan, aparat desa yang kesibukan dan keaktifannya di mana-mana. Istrinya adalah  Ibu Wida, seorang guru honorer SD yang tidak kalah sibuk. Keduanya memiliki 2 orang anak, yang sulung bernama Yopi, masih duduk di bangku kelas 2 SD. Sedangkan si bungsu adalah Sri Santika, yang biasa dipanggil Enon, masih kelas 1 SD. Tinggal pula bersama mereka, anak dari kakak Pak Agan, Andre namanya. Ia adalah yang tertua dan duduk di bangku 3 SD. Mari saya ceritakan satu persatu. Dua belas hari cukup untuk mengenal kelima karakter masing-masing orang ini.

Si Ayah, Pak Agan
Beliau tidak banyak bicara. Tapi kalau sudah mengobrol, bisa lama juga. Ia adalah lulusan Sarjana Teknik Mesin Itenas, Bandung angkatan 95. Ia memutuskan untuk kembali ke desa dan mengembangkan desa ini. Sejak muda ia sudah terkenal aktif. Sampai saat ini pun ia tergabung dalam berbagai urusan di desanya. Mulai dari mengelola buruh sawah, menjadi buruh kelapa sawit, aktif di Lembaga Keswadayaan Masyarakat yang dibentuk program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), pegawai kelurahan, dan organisasi lainnya yang tidak saya hafalkan satu persatu. Ia mengaku pola kerjanya serabutan. Tapi tujuan hidupnya adalah bermanfaat untuk orang di sekitarnya. Terbukti dengan pengabdiannya dalam pengembangan Desa Ponggang bersama aktivis desa lainnya. Dengan senang hati ia mengantar saya melihat sarana Pamsimas di seluruh penjuru desa dan menyediakan informasi yang saya butuhkan. 

Si Ibu, Bu Wida
Bu Wida bukan wanita rumah tangga yang hanya sibuk mengurus rumah. Sejak pagi hari beliau sudah sibuk mondar mandir. Pagi, solat subuh, mandi, lalu memasak untuk sarapan dan terkadang sekaligus untuk makan siang, bebersih, mengantar anak-anak ke sekolah, mengajar di sekolah, dan masih mengambil kuliah di siang hari hingga sore untuk mendapatkan gelar S1nya agar diangkat menjadi guru tetap. Belum lagi beliau adalah pengurus PNPM (Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat) untuk Desa Ponggang. Wah kalau sudah sore, saya bisa lihat raut wajahnya yang sangat kelelahan. Waktu tidur siang barang beberapa menit sudah sangat berharga untuknya. Merasa kehadiran saya cukup merepotkan, saya ikuti polanya di pagi hari. Setelah solat subuh, saya langsung membantunya memasak. Dan keperluan pribadi saya, saya urus sendiri seperti mencuci dan menyetrika baju. Dengan kesibukannya itu, ia masih sempatkan membantu anaknya belajar dan mengurus rumah. Keren! Karena kesibukannya itu, terkadang obrolan kami bisa ke mana-mana, karena beliau bukan ibu yang hanya mengurusi urusan dapur saja. Pembawaannya sangat menyenangkan dan asik. Beberapa informasi baru yang saya berikan padanya tidak sulit untuk diserap.

Si sulung, Yopi
Awalnya ia cenderung diam. Tetapi setelah saya main bareng, sialnya dia tahu kelemahan saya! Saya tidak bisa digelitik! Wah melihat kelemahan saya ini, Yopi dan Enon tidak hentinya menggoda saya. Sampai saya harus berpura-pura tidak kegelian untuk membuat mereka capek sendiri. Yopi lebih cuek dan cenderung tidak mudah menyampaikan keinginannya ke orang lain. Belakangan saya tahu dari Bu Wida kalau dulunya Yopi lebih mudah sakit-sakitan dan pertumbuhannya katanya tidak secepat adiknya. Yopi akan cepat kesal ketika keinginannya tidak dituruti. Tetapi untuk hal-hal yang menurut saya kurang baik, saya beritahu dan alhamdulillah dia mengerti. Belakangan ketika saya sudah meninggalkan Ponggang, Ibu Wida mengabari saya kalau Yopi menangis sampai tertidur ketika saya pergi :(

Yopi dengan gaya metal!
Si Abang, Andre
Sebagai yang paling tua, Yopi dan Enon memanggilnya Abang. Andre paling kuat pelajaran agamanya. Ia beberapa kali mengajak saya mengobrol tentang agama Islam,  mengingatkan solat, sampai persoalan jilbab :) Ia tidak segan menceritakan latar belakang keluarganya. Sifatnya lebih terbuka. Tahu saya tidak bisa bahasa Sunda, ia yang paling rajin mengetes perbendaharaan kata Sunda dari buku pelajaran bahasa Sunda. 

Andre : "Teh, kaki bahasa Sundanya apa, Teh?"
Rani : "Taluk" (Saya diajarkan untuk bilang kata ini kalau tidak tahu)

Cara bicaranya cenderung lebih lembut dari Yopi. Kalau dia tidak suka, ia akan cenderung diam. 

Andre bergaya bak sales buku. Hehe

Si bungsu, Enon
Ini si kecil yang wajahnya paling bikin gemas. Nama aslinya Sri Santika. Tetapi dipanggil oleh keluarga dan teman-temannya Enon. Sampai pada saat ia masuk sekolah, ia masih merasa asing dan tidak sadar nama aslinya! Hahaha. Pertama kali saya dekat dengan Enon. Ia sampai sempat tidur bareng di kamar saya. Enon sangat terlihat bukan anak manja. Kata Bu Wida, ia sudah dibiasakan untuk melakukan segalanya sendiri sejak kecil. Karena seringkali bermain dengan abang-abangnya yang laki-laki, pembawaannya terkadang lebih galak dan tomboi. Hahahha. Tapi seringkali cara bicaranya pada saya sangat manis :)

Enon dan tingkahnya dengan cengkeh. Hahahha
Beberapa hal membuat saaya salut dengan mereka. Ketiga anak ini dididik mandiri. Segalanya dilakukan sendiri. Mulai dari bangun pagi sekali, mandi sendiri, kemudian makan pun tidak susah. Dan mereka makan apa yang ada di rumah. Keinginannya untuk jajan tidak seperti anak-anak lainnya.

Kami sempat membuat pertunjukan wayang golek kecil-keclan. Lucu  banget! :D Saya masih suka tertawa sendiri kalau lihat rekamannya di kamera saya.

Senang sekali bisa menghabiskan hari-hari saya dengan keluarga ini. Keluarga baru juga untuk saya. Lain kali saya pasti main lagi! Terima kasih Pak Agan, Bu Wida, Yopi, Enon, dan Andre! :')

2 komentar:

  1. saya blogger aktif :)
    dan saya datang kemari untuk tengok lirik lagu2nya payung teduh... :)

    salam kenal..

    BalasHapus
  2. Hallo teman² saya Sri shantyca yang di sebut enon saya sudah besar hallo teh Rani:)

    BalasHapus