Banyak pertanyaan yang muncul di kepala ketika bersiap-siap memasukan segala kepentingan untuk menginap 2 minggu di Desa Ponggang, Subang. Ini pertama kalinya saya menginjak tanah Subang.
"Biasa-biasa saja, sedang-sedang saja. Agak Sejuk," begitu kata Ibu Desi, Kepala konsultan yang saya tanya tentang suhu udara di Desa Ponggang.
Berangkat dari Simpang pukul 8 pagi, dan sampai di Desa Ponggang sekitar pukul 10. Tidak perlu melewati jantung kota Subangnya, tetapi ada jalur sendiri dari arah Ciater. Kami lewat jalur Punclut, Ciater, kemudian ke kecamatan Serangpanjang.
Akhirnya masuklah kami ke gapura "Desa Ponggang". Lama berjalan, ternyata belum juga. Melewati satu dua dusun, bentangan sawah, dan kebun kelapa sawit! Saya pandang handphone saya,
Limited service
Kebun kelapa sawit |
Kami disambut dengan nasi liwet hangat dengan lauk dan sambel yang muantaaaaaap! (saya menelan ludah sambil menulis ini :P) Ramah tamah berlangsung sampai sekitar pukul 12.00.
"Di sini mah santai aja, Neng. Semuanya udah kaya keluarga."
Terdengar seperti basa basi, tetapi hanya dalam beberapa hari, saya bisa membuktikan bahwa pernyataan itu benar! :)
Desa Ponggang adalah salah satu dari 6 Desa di Wilayah Kecamatan Serangpanjang Kabupaten Subang yang terletak + 1 Km ke arah selatan dari Kecamatan Serangpanjang. Untuk ke Kota Subang, kita harus menempuh perjalanan antara 3 menit hingga 1 jam. Desa Ponggang Kecamatan Serangpanjang berada di ketinggian 8,62 mdl diatas permukaan laut dengan wilayah ± 141 Hektar.Suhu rata-rata harian di Desa Ponggang adalah 20-30 oC.
Desa ini terdiri atas 6 dusun yang dilintasi perkebunan kelapa sawit milik PTPN. Mayoritas penduduknya bertani. Tidak heran karena sebagian besar lahan desa didominasi dengan persawahan.Selain menjadi petani, sebagian mencari nafkah dengan menjadi kuli di kebun kelapa sawit. Sebenarnya saya masih tidak habis pikir ada kebun kelapa sawit di tanah Pulau Jawa. Banyak pertanyaan dalam otak saya, membayangkan banyaknya air yang terambil oleh tanaman jenis ini!
Rumah yang saya tinggali milik pasangan Ibu Ida dan Pak Agan. Mereka berdua termasuk dalam kelompok yang aktif di desa, dan salah satu pegiat dalam LKM. Posisi rumah bukan di dusun yang padat, namanya Dusun Cibereum. Ternyata si Abah, ayah dari Pak Agan adalah pemilik tanah di wilayah ini. Wah bukan main-main banyak tanahnya. Rumah ini pas sekali di depan sawah. Dan sejauh mata memandang, itu semua adalah sawah milik Abah! Tidak sampai situ saja, ketika saya sedang berkeliling melihat sarana kran umum, lagi-lagi saya melewati bentangan sawah berpuluh-puluh hektar yang masih menjadi miliknya. Ckckckck.
Rumah Bapak Agan, di depannya adalah bentangan sawah yang sangat luas! |
Beberapa rumah terlihat menjemur cengkeh di depan rumahnya. Termasuk yang dilakukan Mih, ibu dari Pak Agan. Setiap panen cengkeh, anak-anak ikut membantu memisahkan tangkai dari buah cengkehnya dengan upah 1000 rupiah per anak. Saya pun ikut bantu, tanpa upah tentunya. Hehehe. Karena cuaca beberapa hari ini seringkali mendung, maka butuh waktu lebih lama untuk menjemurnya hingga benar-benar kering. Si cengkeh dibanderol dengan harga yang bisa mencapai 100.000 rupiah/kg, sedangkan untuk tangkai cengkeh dijual dengan harga murah untuk rokok.
Cengkeh yang siap dijemur |
Tanpa keluar dari desa ini, sebenarnya sudah bisa hidup enak di sini. Beras ada dari sawah, ikan ada di kolam, ayam ada di kandang, sayuran ada di kebun, buah tinggal petik, air juga jernih bukan main. Hanya saja dulunya orang sini butuh berjalan sejauh-jauhnya hanya untuk buang air atau mengambil air. Untuk mandi, penduduk sini masih memanfaatkan aliran mata air yang dialirkan secara sederhana di dalam bilik-bilik. Tinggi dinding bilik di bawah dada, maka harus berjongkok jika ingin tidak kelihatan. Untuk rumah yang saya tinggali, alhamdulillah punya kamar mandi dan jamban sendiri. *lega
Tempat masyarakat mandi dan mengambil air. Di dalamnya mengalir air bersih yang sangat deras! |
Sungai lokasi sumber mata air Cidomas, yang menjadi sumber air minum warga. Sungai ini jernih sekali! Lokasinya tak jauh dari desa. (Akan ada cerita khusus mengenai kunjungan ke mata air ini :D) |
Pernyataan mengenai "semua di sini adalah keluarga", bisa didefinisikan secara harfiah. Sebagian besar penduduk desa ini seperti punya hubungan darah satu sama lain! Setiap bertemu orang baru, tidak asing lagi di telinga saya jika ada informasi "saya masih saudara dengan Bapak/Ibu anu". Mengobrol dengan salah satu aparat desa, Bapak Uyo, beliau adalah turunan ke 5 dari penduduk desa yang pertama kali membuat pemukiman di daerah ini, yang tadinya adalah hutan. Konon kabarnya sawah pertama yang dibangun di wilayah Jawa Barat berada di desa ini. (karena dari buku yang saya baca, budaya masyarakat Sunda adalah masyarakat berladang). Sejak dulu Desa Ponggang terkenal dengan gotong royong dan keamanannya. Maka tidak heran beberapa program pengembangan desa bisa berhasil, karena swadaya masyarakat yang tinggi. Seperti pada minggu kedua saya di sini, tampak masyarakat sedang bergotong royong membangun saluran drainase untuk program PNPM Mandiri.
Pembangunan drainase |
Salah satu kendala saya adalah soal bahasa! Ya, bahasa Sunda. Meskipun sudah tahun ketiga di Bandung, saya belum juga fasih berbahasa Sunda. Jadilah saya hanya senyam senyum sendiri kalau obrolan sudah dengan bahasa Sunda dan apalagi sudah mulai tertawa-tawa. Hehe. Tapi bukan berarti saya jadi tidak bisa mengobrol sana-sini :) Untuk menambah keakraban, jika ada kumpul-kumpul sedikit (misalnya rumpi-rumpi ibu-ibu), sering sekali ngaliwet (makan nasi liwet dengan sambal, lauk, dan lalap :9). Saya jadi makan terus di sini! Hehehe.
Andalan : nasi liwet! :9 |
Kalau dibilang ndeso banget yang akses masuk hanya dengan jalan kaki, tidak juga. Ada jalan aspal di tengah desa yang memudahkan kita untuk mengakses daerah ini, meskipun sebagian besar jalan sudah tidak dalam kondisi yang layak. Tapi biarlah jauhnya akses untuk keluar ini bisa tetap menjaga nilai-nilai dalam Desa Ponggang. Yah, intinya saya sangat terkesan dengan segala kedekatan masyarakat Ponggang. Terutama dalam persoalan pengembangan air minum dan sanitasi yang menjadi tema evaluasi dalam kerja praktek saya ini! Akan butuh postingan tersendiri untuk membahasnya :) Selain dari sisi tersebut, saya pun belajar sangat banyak di sini! Setiap saya ngobrol panjang dengan siapa pun, saya pasti mendapatkan sesuatu! Dan beberapa obrolan sangat mengisi energi dan semangat saya untuk berkarya dan bermanfaat bagi orang banyak.
Terima kasih untuk keluarga Ponggang! :) Saya akan main ke sana lagi!
bentangan kebun kelapa sawit itu sebenarnya masih baru, lihat aja pohonnya yang belum besar...
BalasHapusdulunya di daerah situ adalah kebun teh yang hijau...
kebun teh dimana2 menampakan pemandangannya yang asri ...
terhitung sejak runtuhnya orde baru makin lama bentangan kebun2 teh itu tidak terurus, meninggalkan kebun teh bercampur ilalang,..
tapi masih tetap dipertahankan sbagai kebun teh dan ada juga yg masih dikelola...
tapi entah bagaimana ceritanya saat di pemerintahan eep hidayat atau mungkin kebijakan dari yang lainnya (pusat) saya kurang tau persis, kebun teh itu di alih fungsikan menjadi kelapa sawit...
saya juga tak habis pikir apakah sumatera dan kalimantan sudah segitu kekurangan lahan untuk sawit sampai2 di jawa pun dilaih fungsikan...
akhirnya hilanglah kebun teh kami yang asri berganti dengan kebun kelapa sawit yang rimbun...
dulu 4tahun lalu kalo anda berkunjung ke jalan lurus sebelum wil smp 1 serangpanjang/kntor kec serangpanjang maka akan terlihat kebun teh yang luas dengan lembah yang indah di payungi kaki gunung tangkuban perahu dibawah kaki gunung itulah dusun saya cilembu berada...
sekarang pemandangan itu sudah tidak terlihat lagi karena dari luar sudah tertutupi oleh sawit yg lebih tinggi dri kebun teh
wah...
BalasHapuspengalaman yang sangat menarik.
pingin rasanya mengunjungi daerah ponggang ini.
sepertinya saya hari ini sedang mengabdi kuliah kerja nyata di desa.ponggang, keren infonya...tpi ke curugnya jauh sebenarnya.hehe
BalasHapusMemang dengan kondisi budidaya teh digantikan dengan kelapa sawit, sungguh sangat disayangkan, jadi kesannya kurang indah lagi, malah menjadi rawan kejahatan, semoga pemerintah mempertimbangkan lagi agar diganti dengan budidaya teh seperti dulu.
BalasHapusSaya sebagai putra daerah keturunan wilayah tersebut, khususnya Desa Cilutung, menyayangkan sekali digantinya budidaya teh menjadi kelapa sawit.
Nuhun